Saya itu ...

Foto saya
Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia

Senin, 10 Oktober 2016

apa itu pendidik ?



PENDIDIK


Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggungjawab untuk mendidik.[1] Sementara secara khusus, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[2]
Berdasarkan pengentian di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidik dalam perspektif pendidikan Islam ialah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun ‘abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang yang bertugas di sekolah tetapi semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan anak mulai sejak dalam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai meninggal dunia.
A.         Rasulullah saw. sebagai guru
Muhammad SAW, selain sebagai Rasulullah, beliau juga menyatakan bahwa dirinya adalah  sebagai guru bagi umatnya. Pernyataan itu mengisyaratkan bahwa umat harus menerima pelajaran-pelajaran yang diberikannya dalam berbagai hal kehidupannya. Sehubungan dengan ini, terdapat hadis antara lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ بِمَجْلِسَيْنِ فِى مَسْجِدِهِ فَقَالَ :« كِلاَهُمَا عَلَى خَيْرٍ وَأَحَدُهُمَا أَفْضَلُ مِنْ صَاحِبِهِ ، أَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَدْعُونَ اللَّهَ وَيُرَغِّبُونَ إِلَيْهِ فَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُمْ وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُمْ ، وَأَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَتَعَلَّمُونَ الْفِقْهَ وَالْعِلْمَ وَيُعَلِّمُونَ الْجَاهِلَ فَهُمْ أَفْضَلُ ، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّماً » قَالَ : ثُمَّ جَلَسَ فِيهِمْ.رواه الدارمى
Bahwasanya Abdullab bin Amnu bin al-‘Ash r.a. berkata, “Pada suatu hari Rasulullah keluar dari salah satu kamar beliau untuk menuju masjid. Dalam masjid tersebut, beliau mendapati dua kelompok sahabat. Kelompok pertama adalah golongan orang yang sedang membaca Alquran dan berdoa kepada Allah s.w.t.. Sedangkan kelompok kedua adalah golongan orang yang sedang sibuk mempelajari dan mengajarkan ilmu pengetatahuan. Nabi s.a.w. kemudian bersabda: ‘Masing-masing kelompok sama-sama berada dalam kebaikan. Terhadap yang sedang membaca Alquran dan berdoa kepada Allah, maka Allah akan mengabulkan doa mereka jika Ia menghendaki, begitupun sebaliknya, doa mereka tidak akan ditenima oleh Allah jika Ia tidak berkenan mengabulkan doa tersebut. Adapun terhadap golongan yang belajar-mengajar, maka (ketahuilah) sesungguhnya aku ini diutus untuk menjadi seorang pengajar (guru). Kemudian Rasul saw. ikut bergabung bersama mereka’.
B. Kedudukan Pendidik
1.                             Sebagai Orang Tua
Menurut Rasulullah saw. pendidik itu berkedudukan sebagai orangtua. Sehubungan dengan ini terdapat hadis sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْغَائِطَ فَلاَ يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلاَ يَسْتَدْبِرْهَا وَلاَ يَسْتَطِبْ بِيَمِينِهِ وَكَانَ يَأْمُرُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ وَيَنْهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ. رواه أبو داود
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berabda: Sesungguhnya saya menempati posisi orang tuamu. Aku akan mengajarmu. Apabila salah seorang kamu mau buang hajat, maka janganlah ia menghadap atau mebelakangi kiblat, janganlah ia beristinjak (membersihkan dubur sesudah buang air) dengan tangan kanan. Beliau menyuruh beristinjak (kalau tidak dengan air), dengan tiga batu dan melarang beristinjak dengan kotoran (najis) dan tulang.

Dalam hadis di atas dengan jelas Rasulullah saw. mengatakan bahwa diri beliau itu adalah bagaikan orangtua dari para sahabatnya. Pengertian bagaikan orangtua adalah  mengajar, membimbing dan mendidik anak-anak seperti yang dilakukan oleh orangtua. Rasulullah SAW. mengajarkan kepada sahabat bagaimana adab buang hajat. Sebenarnya, persoalan ini adalah pesoalan orangtua. Akan tetapi, Nabi yang tidak diragukan lagi bagi umat Islam, sebagai maha guru, pendidik ulung bagi umat Islam mau juga mengajarkan hal itu.
2.     Sebagai Pewaris Nabi
Sehubungan dengan kedudukan ini, Nabi SAW. bersabda:
عن أبى دردائ قال سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.[3] رواه الترمذى وأحمد والبيهقى وأبو داود والدارمى
Abu Dada’ berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang menempuh jalan mencari  ilmu, akan dimudahkan Allah jalan untuknya ke sorga. Seungguhnya Malaikatmenghamparkan sayapnya karena senang kepada pencari ilm. Sesungguhnya pencari ilmu dimintakan ampun oleh orang yang ada di langitdan bumi, bahkan ikan yang ada dalam air. Keutamaan oang berilmu dari orang yang beribadah adalah bagaikan kelebihan bulan malam purnama dari semua bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi. Nabi tidak mewariskan emas dan perak, tetapi ilmu. Siapa yang mencari ilmu hendaklah ia cari sebanyak-banyaknya.
Dalam hadis di atas dikemukakan beberapa hal penting. Yang berkaitan erat dengan tema ini adalah "ulama adalah pewaris Nabi". Pendidik, dalam hal ini terutama guru, adalah orang yang berilmu penegtahuan. Dengan demikian,  ia termasuk kategori ulama. Jadi, ia adalah pewaris para Nabi. Sebagai pewaris Nabi, tentu guru tidak dapat mengharapkan banyak harta karena beliau tidak mewariskan harta. Akan tetapi, Rasulullah SAW. tidak pernah melarang orang berilmu termasuk pendidik untuk mencari harta kekayaan selama proses itu tidak mengurangi upaya pengambilan warisan beliau yang sebenarnya, yaitu ilmu pengetahuan.



C. Keutamaan Pendidik
1. Terbebas dari Kutukan Allah

عن أبى هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ. رواه الترمذى
Abu Hurairah meriwayatkan  bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Ketahuilah ! bahwa sesungguhnya dunia dan segala isinya terkutuk kecuali zikir kepada Allah dan apa yang terlibat dengannya, orang yang tahu (guru) atau orang yang belajar.
Dalam hadis ini ditegaskan bahwa orang yang tahu (guru, pendidik) adalah orang yang selamat dari kutukan Allah. Ini merupakan keutamaan yang sangat berharga.
2. Didoakan oleh Penduduk Bumi
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاَنِ أَحَدُهُمَا عَابِدٌ وَالاَخَرُ عَالِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ. رواه الترمذى
Abu Umamah al-Bahiliy berkata: diceritakan kepada Rasulullah saw. dua orang laki-laki, yang satu 'abid (orang yang banyak beribadah) dan yang satu lagi 'alim (orang yang banyak ilmu). Maka Rasulullah saw. bersabda: kelebihan seorang alim daripada orang yang beribadah adalah  bagaikan kelebihanku daripada seorang kamu yang paling rendah. Kemudian Rasulullah saw. berkata (lagi): Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya dan penduduk langit dan bumi sampai semut yang berada dalam sarangnya serta ikan berselawat (memohon rahmat) untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia (pendidik, guru).
Informasi dalam hadis di atas mencakup bahwa Allah memberikan selamat dan barakah kepada guru. Selain itu, malaikat dan penduduk langit dan bumi termasuk semut yang berada dalam sarang, ikan yang berada dalam laut mendoakan keaikan untuk guru yang mengajar orang lain. Ini semua adalah keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada guru.
3.      Mendapat Pahala Berkelanjutan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الاِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.[4] رواه مسلم وأحمد النسائي والترمذى والبيهقى
Abu Hurairah meriwatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila manusia telah meninggal dunia terputuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya.

Dalam hadis di atas terdapat informasi bahwa ada tiga hal yang selalu diberi pahala oleh Allah pada seseorang kendatipun ia sudah meninggal dunia. Yaitu; (1) sedekah jariyah (wakaf yang lama kegunaannya), (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) doa yang dimohonkan oleh anak yang saleh untuk orang tuanya. Sehubungan dengan pembahasan ini adalah ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh seseorang ('âlim, guru) kepada orang lain dan tulisan (karangan) yang dimaksudkan oleh penulis untuk dimanfaatkan orang lain.[5]  Pahala yang berkelanjutan merupakan salah satu keutamaan yang bakal diperoleh oleh pendidik (guru).
Keutamaan ini diberikan kepada guru karena ia sudah memberikan sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Al-Ghhazali mengemukakan bahwa Hasan al-Bashri berkata: Kalau sekirarnya orang-orang berilmu tidak ada, niscaya manusia akan bodoh seperti hewan, karena hanya dengan mengajar, para ulama dapat menaikkan orang banyak dari tingkat kehewanan ke tingkat kemanusiaan.[6]
D. Syarat-syarat Pendidik
1.                    Pendidik harus beriman
Pendidik adalah  orang yang bertanggung jawab membimbing anak untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Agar tujuan tersebut dapat tercapai, pendidik terlebih dahulu harus beriman. Sehubungan dengan ini, terdapat hadis sebagai berikut:
Pendidik harus beriman:
عن سفيان بن عبد الله الثقفي قال قُلْتُ ياَ رَسُوْلُ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ (وَفِي حَدِيْثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ)  : قَالَ قُلْ آمَنْتُ باِللهِ فَاسْتَقِمْ.[7] رواه مسلم وأحمد
Sufyan bin Abdullah al-Saqafiy meriwayatkan bahwa ia berkata kepada Rasulullah: Ya Rasulullah ! Katakanlah kepada saya sesuatu tentang Islam yang tidak akan saya tanyakan lagi sesudah Engkau! Nabi berkata: Katakanlah! Saya beriman kepada Allah lalu tetapkanlah pendirianmu.
Hadis ini menunjukkan bahwa iman kepada Allah dan istiqamah dengan pengakuan keimanan itu merupakan suatu hal yang sudah cukup dan memadai bagi seseorang muslim. Oleh karena itu, para pendidik harus berusaha agar peserta didik  memiliki iman yang kuat dan teguh pendirian dalam melaksanakan tuntutan iman tersebut. Segala aktivitas kependidikan agar diarahkan menuju terbentuknya pribadi-pribadi yang beriman.
2. Pendidik harus berilmu
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا ، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.[8] رواه البخارى
Abdullah ibn 'Amru ibn al-'Ash meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak menarik ilmu penetahuan kembali dengan mencabutnya hati sanubar manusia, akan tetapi dengan mewafatkan orang-orang berpengetahuan (ulama).Apabila tidak ada lagi orang alim yang tersisa, manusia akan mengangkat orang bodoh menjadi pemimpin yang dijadikan tempat bertanya. Lalu orang-orang bodoh itu ditanya dan mereka berfatwa tanpa ilmu mengakibatkan mereka sesat dan menyesatkan.
Hadis ini berisi anjuran menjaga ilmu, peringatan bagi pemimpin yang bodoh, peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan fatwa adalah pemimpin yang benar-benar mengetahui, dan larangan bagi orang yang berani mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan. Hadis ini juga dijadikan alasan oleh jumhur ulama untuk mengatakan, bahwa pada zaman sekarang ini tidak ada lagi seorang mujtahid.[9]
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa orang yang berfatwa dan mengajar harus berilmu pengetahuan. Termasuk dalam hal ini adalah pendidik, guru. Bila pendidik tidak berilmu pengetahuan, maka murid-murid yang diajarnya akan sesat atau dalam bahasa kependidikan bila guru tidak profesional akan mengakibatkan proses pembelajaran akan sia-sia. Dalam Undang-undang Guru dan Dosen Republik Indonesia, salah satu syarat bagi guru adalah profesional.
عن أَبى هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ أفْتى بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ[10]. رواه أبو داود
Dari Abi Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, Siapa yang berfatwa tanpa ilmu, maka dosanya akan dipikul oleh orang yang berfatwa itu.
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW. menyebut, siapa yang berfatwa. Berfatwa adalah memberikan ilmu kepada orang lain. Mengajar dan mendidik juga memberikan ilmu kepada orang lain. Dengan demikian,  keduanya sama. Berfatwa dan mendidik, mengajar tanpa ilmu akan menyesatkan orang lain. Karena, Rasulullah SAW. melarang keras berfatwa bila seseorang tidak memiliki ilmu.
3. Mengamalkan Ilmunya:
عَنْ ِأُسَامَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ.[11] رواه البخارى
Usamah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Seseorang akan didatangkan pada hari kiamat dan dilemparkan ke neraka. Maka usus-ususnya keluar di neraka. Ia pun berputar sebagaimana berputarnya keledal di penggilingan. Para penghuni neraka berkumpul kepadanya dan bertanya, wahal fulan! Ada apa denganmu? Bukankah engkau dahulu memerintahkan kami untuk melakukan yang ma ‘ruf dan melarang kami dari perbuatan munkar? Ia menjawab, ‘Dahulu aku memerintahkan kamu kepada yang ma‘ruf tetapi aku tidak melakukannya, dan aku melarang kamu dan perbuatan mungkar tetapi aku mengerjakannya,”
Hadis di atas menjelaskan siksaan Allah yang bakal diterima oleh orang yang mengajarkan kebaikan (al-amr bi al-ma'ruf) tetapi ia sendiri tidak mengerjakannya, dan orang yang menasihati orang agar meninggalkan yang jelek (al-nahy 'an al-munkar) tetapi ia sendiri mengerjakannya. Tugas tersebut adalah  salah satu yang dikerjakan oleh pendidik, guru. Jadi guru harus mengamalkan ilmu yang diajarkannya kepada peserta didiknya agar terhindar dari siksa Allah.
4. Pendidik harus adil
عن النُّعْمَان بْنَ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ.[12] رواه النسائى والبيهقى
Dari Nu'manusia  ibn Basyir, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu! Berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu!
Dalam hadis ini dengan tegas Rasulullah saw. memerintahkan kepada para sahabat (umatnya) agar berlaku adil terhadap anak-anaknya. Dalam konteks pendidikan, peserta didik itu adalah anak oleh pendidiknya. Dengan demikian,  pendidik wajib berlaku adil dalam berbagai hal terhadap peserta didiknya.
Muhammad Athiyah Abrasyi menegaskan agar pendidik itu harus memiliki sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.[13] Keadilan pendidik terhadap peserta didik mencakup dalam berbagai hal, seperti: memberikan perhatian, kasih sayang, pemenuhan kebutuhan, bimbingan, pengajaran dan pemberian nilai. Bila sifat ini tidak dimilikioleh seorang pendidik, maka ia tidak akan disenangi oleh peserta didiknya. Bila ini terjadi proses pembelajaran tidak akan mendapatkan hasil yang optimal.
5. Pendidik Berniat Ikhlas
عن أمير المؤمنين عمر ابن الخطاب رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ماهاجر إليه[14] (رواه البخارى ومسلم).
Umar bin Khaththab RA berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tiap-tiap amal perbuatan harus disertai dengan niat, balasan bagi setiap amal manusia sesuai dengan apa yang diniatkan. Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan dunia atau seorang perempuan untuk dinikahi, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkan.”
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa tiap-tiap amal perbuatan harus disertai dengan niat. Menurut Al Khauyi, seakan-akan Rasulullah memberi pengertian bahwa niat itu bermacam-macam sebagaimana perbuatan. Seperti orang yang melakukan perbuatan dengan motivasi ingin mendapat ridha Allah dan apa yang dijanjikan kepadanya, atau ingin menjauhkan diri dari ancamanNya.[15] Niat yang benar adalah keinginan dalam hati dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Pendidik hendaknya membebaskan niatnya, semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasihat, pengawasan atau hukuman. Buah yang dipetiknya adalah, ia akan melaksanakan metode pendidikan, mengawasi anak secara edukatif terus-menerus, di samping mendapat pahala dan keridhaan Allah. Ikhlas dalam perkataan dan perbuatan adalah sebagian dari asas iman dan keharusan Islam. Allah tidak akan menerima perbuatan tanpa dikerjakan secara ikhlas.[16] Perintah untuk ikhlas, tercantum dalam Al-Qur’an dengan tegas, Surat Al-Bayyinah: 5.
Kata ikhlash terambil dari kata khalasha. Menurut Husain Mazhahiri, kata  khalasha, kata khalushan, dan kata khalashan berarti jernih, , lenyap kotoran darinya. Kalimat akhlasha sy-syai’a berarti menjernihkan dan menyucikannya dan kotorannya Adapun kalimat " dia mengikhlaskan agamanya hanya untuk Allah” berarti dia meninggalkan sifat riya di dalam agamanya. Barangsiapa yang pikiran, perbuatan, dan ucapannya sejalan dengan apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an al-Karim maka dia adalah orang yang ikhlas kepada Allah, dan dia akan senantiasa berada dalam pertolongan-Nya dalam menjalani peperangan berkecamuk dalam dalam dirinya, untuk kemudian setelah itu ia samapai kepada tujuan-tujuan yang luhur. [17]
Mengapa pendidik harus memiliki niat yang ikhlas? Dengan keikhlasan karena Allah, pendidik dalam melaksanakan tugasnya akan mendapatkan kemudahan. Karena sasaran pendidikan itu adalah hati. Apa yang diberikan dengan hati akan diterima oleh hati dengan baik. Dengan demikian,  proses pendidikan akan mencapai hasil yang optimal. Selain itu dan yang tidak kalah pentingnya adalah semua proses pendidikan yang diberikan oleh pendidik dengan ikhlas akan dihitung sebagai ibadah kepada Allah. Jadi, sangat rugi pendidikan yang melaksanakan tugas kependidikannya tanpa disertai dengan niat yang ikhlas.
Selain bersifat ikhlas, pendidik harus mengajar peserta didi untuk berbuat ikhlas, baik di dalam melaksanakan pekerjaan atau-pun proses belajarnya. Semuanya itu harus mereka laksanakan dengan ikhlas, demi mendapatkan rida dari Allah SWT. Jangan sampai, perbuatan tersebut dilandaskan pada sifat munafik, riya, atau hanya ingin mendapatkan rasa terima kasih dan pujian dari orang-orang.
Segala bentuk pekerjaan dinilai sesuai dengan niat pelakunya. Oleh sebab itu, proses pendidikan dapat bernilai ibadah bila orang yang melaksanakannya mempunyai niat yang ikhlas. Agar mendapat pahala dari Allah, pendidik/Pendidik harus mendidik/mengajar dengan niat mengerjakan perintah Allah dan mengharapkan rida-Nya. Niat merupakan salah satu motivasi intrinsik (dorongan yang berada di dalam diri seseorang). Motivasi ini sangat besar pengaruhnya kepada hasil pekerjaan seseorang. Oleh sebab itu, dalam kegiatan belajar mengajar, pendidik dan peserta didik harus mempunyai motivasi yang benar.
6. Pendidik harus Berlapang Dada
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَشْيَاءَ كَرِهَهَا فَلَمَّا أُكْثِرَ عَلَيْهِ غَضِبَ ثُمَّ قَالَ لِلنَّاسِ سَلُونِي عَمَّا شِئْتُمْ قَالَ رَجُلٌ مَنْ أَبِي قَالَ أَبُوكَ حُذَافَةُ فَقَامَ آخَرُ فَقَالَ مَنْ أَبِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُوكَ سَالِمٌ مَوْلَى شَيْبَةَ فَلَمَّا رَأَى عُمَرُ مَا فِي وَجْهِهِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَتُوبُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.[18] رواه البخارى.
Dari Abu Musa radhiallahu anhu, dia berkata, “Seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengenai perkara yang tidak disukai beliau. Maka tatkala orang itu terrlalu banyak bertanya, Nabi menjadi marah. Kemudian beliau berkata, “Tanyakan!ah apa yang hendak kamu tanyakan.”Seorang laki-laki bertanva, “Siapakah bapakku?” Nabi menjawab. “Bapakmu, Hudzafah.” Bertanya pula yang lain, “Siapakah bapakku hai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Bapakmu Salim, hamba sahara Syaibah.”Taikala Umar bin Khaththab,) melihat rasa kurang senang tergambar di wajah Rasululluh karena soal-soal yang tidak menentu itu. segera ia berkata, "Wahai Rasulullah SAW. ! Kami tobat kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Agung.
Dalam hadis di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw. juga merasa marah ketika ada hal-hal yang tidak diinginkannya ditampilkan di depannya. Dalam kasus ini, sahabat bertanya banyak tentang hari kiamat. Akan tetapi kemarahan beliau itu tidak sempat menghilangkan sifat lapangan dadanya.
Menurut Ibnu Hajar, bahwa orang yang memberi nasihat boleh menampakkan sikap marah, karena dia sebagai orang yang memberi peringatan. Begitu juga seorang guru, jika dia mencela kesalahan murid yang belajar kepadanya. Karena terkadang hal itu terpaksa dia lakukan agar si murid dapat mencrima kebenaran darinya, akan tetapi hal itu harus disesuaikan dengan keadaan psikologi masing-masing murid. [19]

Sikap lapang dada dan jauh dari kedengkian akan mewujudkan keseimbangan jiwa bagi manusia dan akan membiasakannya untuk selalu cinta kepada kebaikan bagi masyarakat. Ia juga akan memberikan jalan bagi kebaikan pada jiwa manusia untuk sampai kepada puncaknva. Nabi telah memberiikan bimbingan sahabat Anas bin Malik - ketika masih kecil  agar mencuci noda-noda jiwa setiap pagi dan petang dengan cara memberikan maaf kepada setiap orang yang berbuat jahil  kepadanya, dan juga mengosongkan hatinya dari sisa-sisa hembusan setan ke dalam akal pikiran.[20]
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَلاَ تُزْرِمُوهُ قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ[21]. رواه البخارى
Dari Anas, sesungguhnya seorang Arab kencing dalam masjid. Lalu orang-orang berdiri dan menghadang ke sana. Rasulullah SAW. bersabda, biarkanlah dia (sampai selesai), jangan hentikan. Setelah selesai, beliau  meminta setimba air lalu menyiram kencing laki-laki itu.
Laki-laki yang kencing itu adalah orang Arab Badwi. Ia kencing mungkin karena ketidaktahuannya akan najis, atau karena sebab lain. Yang jelas, Rasulullah SAW. tidak marah kepadanya dan melarang sahabat untuk memarahinya. Dalam kasus ini, Rasulullah SAW. sendiri yang langsung menyiram/membasuh kencing nitu. Dalam hadis ini terlihat betapa berlapang dadanya Rasulullah SAW. sebagai rasul dan pendidik.
D. Sifat-sifat Pendidik
1. Sifat Lemah Lembut dan Kasih Sayang
عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا فَقَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ. رواه البخارى
Abu Sualiman Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang pemuda sebaya  datang kepada Nabi saw., lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan keluargadan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan penyayanglalu berkata: “Kembalilah kepada keluargamu! Ajarlah mereka, suruhlah mereka dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan salat. Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan azan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam.
Di antara informasi yang dapat dari hadis di atas adalah  (1). Ada sekelompok pemuda sebaya datang dan menginap di rumah Rasulullah SAW., (2). Pemuda itu belajar masalah agama (ibadah) kepada Rasulullah SAW. , (3). Rasulullah SAW. telah memperlakukan mereka dengan santun dan kasih sayang, (4). Rasulullah SAW. menyuruh mereka mengajarkan salat kepada keluarga masing-masing seperti beliau mengajar mereka. Di antara informasi tersebut, yang berkaitan erat dengan sub tema ini adalah beliau memperlakukan para sahabat tersebut dengan santun dan kasih sayang.
Pendidik yang mampu bersikap santun kepada peserta didiknya sesuai dengan tuntutan Allah dalam Alquran, sebagaimana terdapat dalam ayat-Nya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Ahmad musthafa Al-Maraghi menjelaskan, andaikata engkau (Muhammad ) bersikap kasar dan galak dalam muamalah dengan mereka (kaum muslimin), niscaya mereka akan bercerai (bubar) meninggalkan engkau dan tidak menyenangimu. Sehingga engkau tidak bisa menyampaikan hidayah dan bimbingan kepada mereka ke jalan yang lurus. [22] Berdasarkan tafsir ini, seorang pendidik harus memiliki rasa santun kepada setiap peserta didiknya dalam proses pendidikan. Bila tidak, maka kekasaran itu akan menjadi penghalang baginya untuk mencapai tujuan pendidikan.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ. رواه الترمذى
Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih kecil, tidak memuliakan yang lebih besar, tidak menyuruh berbuat makruf, dan tidak mencegah perbuatan munkar.

Kandungan hadis ini umum, termasuk semua umat Islam, umat Nabi Muhammad SAW. juga pendidik. Pendidik harus memiliki sifat kasih sayang kepada peserta didiknya agar mereka dapat menerima pendidikan dan pengajaran dengan hati yang senang dan nyaman. Segala proses edukatif yang dialkukan oleh pendidik harus diwarnai oleh sifat kasih sayang ini.

2.     Mengembalikan Ilmu kepada Allah

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهم - قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ أَوْلاَدِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالَ « اللَّهُ إِذْ خَلَقَهُمْ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِينَ[23]. رواه البخارى ومسلم
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. ditanya tentang anak-anak orang yang musyrik. Lalu beliau menjawab: Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka kerjakan pada saat ia diciptakan.
Dalam hadis ini dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. ditanya oleh sahabat tentang nasib anak-anak orang musyrik pada hari kiamat nanti. Beliau menjawab, "Allah lebih mengetahui" atau "Allah mengetahui" apa yang mereka lakukan. Di sini terlihat bahwa Rasulullah SAW. tidak selalu menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, kendatipun beliau adalah Rasulullah. Beliau tidak merasa risih dengan sikap tidak memberikan jawaban yang pasti. Itulah sesungguhnya sikap yang harus dimiliki oleh setiap pendidik. Bila ternyata ada hal yang diragukan atau belum diketahui sama sekali, jangan segan mengatakan "Allah Yang Mahatahu. Itu adalah salah satu bentuk sikap tawadhu' seorang hamba.

3.     Memperhatikan Keadaan Peserta Didik

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا[24]. رواه البخارى
Dari Ibnu Mas'ud, Nabi SAW. selalu menyelingi hari-hari belajar untuk kami untuk menghindari kebosanan kami.
Dalam hadis ini terdapat informasi bahwa Rasulullah saw. mengajar sahabat tidak setiap hari, tetapi ada waktu belajar dan ada pula waktu istirahat. Hal itu dilakukannya untuk menghindari kebosanan kepada pelajaran. Itu berarti bahwa Rasulullah saw. memperhatikan kondisi para sahabat (peserta didik) dalam mengajar. Peserta didik membutuhkan selingan waktu untuk beristirahat.
Menurut Muhammad Utsman Najati, di antara temuan riset mutakhir dalam proses belajar ialah jadwal waktu belajar. Dengan kata lain, dalam proses belajar harus ada jenjang waktu untuk istirahat. Hal  ini  sangat penting dalam proses belajar yang tepat dan cepat. Dengan mengatur jadwal waktu belajar, pelajaran yang akan disampaikan berikutnya dapat dicerna dengan baik. [25]Oleh karenanya, prinsip belajar dengan membagi waktu belajar  ini  dapat menghilangkan rasa lelah dan bosan.
Sebelum para ahli kejiwaan modern menemukan prinsip  ini, sudah sejak empat belas abad yang silam Alquran telah mempraktekkan prinsip  ini . Prinsip  ini  ditandai dengan peristiwa diturunkannya Alquran secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Tujuannya ialah memberi ruang waktu yang dapat memungkinkan kaum muslim mudah menghafalkannya.
Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW juga mempraktekkan prinsip “pembagian waktu belajar”. Ini sebagai metode mendidik jiwa para sahabatnya dengan tujuan agar mereka tidak merasa bosan. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA, berkata: Nabi SAW dalam beberapa hari pernah memberi nasihat kepada kami sehingga perasaan benci dan bosan itu muncul pada diri kami  semua.”Abu Wail RA berkata: “Setiap hari Kamis, Abdullah memberi ceramah kepada sekelompok orang. Salah seorang di antara mereka berkata kepada beliau, Hai ayah Abdurrahman! Saya berharap engkau setiap hari memberi ceramah kepada kami.” Ia menjawab, “Aku tidak bisa setiap hari karena sesungguhnya aku tidak suka melihat kalian bosan. Aku memberi ceramah kepada kalian seperti Nabi SAW memberi peringatan kepada kami. Kami takut bila rasa bosan menimpa kami semua.[26]
Secara praktis, prinsip ini dilakukan Nabi SAW ketika menyuruh para sahabat mempelajari 10 ayat Alquran. Mereka tidak diperbolehkan mempelajari lebih dari itu kecuali setelah mereka benar-benar memahami dan mengamalkan ajaran yang terkandung dalam ayat tersebut. Abdullah bin Mas’üd RA berkata: “ Kami belajar pada Nabi SAW 10 ayat Alquran, setelah itu kami tidak belajar ayat Alquran hingga kami benar-benar mendalami 10 ayat tersebut.” Ditanya oleh temannya, “Apakah karena mengamalkannya?” Ia menjawab: “Benar
عن عائشة قال قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسلم: إِنَّ اللهَ لَمْ يَبْعَثْنِيْ مُعْنِتاً وَلاَ مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِيْ مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا[27]. رواه مسلم
Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda kepada ‘Aisyah: “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan dan merendahkan orang lain. Akan tetapi, Allah mengutusku sebagai seorang pengajar (guru) dan pemberi kemudahan.”

4.     Berlaku dan Berkata Jujur
عن عمر بن الخطاب ...  قاَلَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ قاَلَ ماَ المْسَؤُْوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّاِئلِ....[28] رواه البخارى ومسلم.
Umar ibn al-Khatthâb meriwayatkan: … Jibril berkata lagi, Beritahukan kepadaku tentang hari kiamat! Rasulullah saw. menjawab: tentang masalah ini, saya tidak lebih tahu dari Anda. ...

Dalam hadis di atas dikatakan bahwa ketika Nabi SAW. ditanya oleh malaikat Jibril tentang hari kiamat, belia menjawab, saya tidak lebih tahu daripada Anda, saya sama-sama tidak tahu dengan Anda. Beliau tidak mentang-mentang Rasulullah, lalu menjawab semua yang ditanyakan kepadanya. Beliau tidak segan-segan mengatakan tidak tahu bila yang ditanyakan orang itu tidak diketahuinya. Inilah sifat nyg harus dimiliki oleh setiap pendidik.
Seorang ilmuan, guru, dan pendidik harus bersifat jujur dan terbuka. Bila ditanya orang tentang suatu hal yang tidak diketahuinya, dia harus berani mengatakan tidak tahu. Jangan bergaya serba tahu. Jangan mengada-ada untuk menjaga gengsi keilmuan.



[1]Ahmad D. Marimba,  Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), h. 37
[2]Ahmad Tafsir, (ed)., Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1992), h. 74-75


[3] Sulaiman bin al-Asy’as bin Syaddad bin Amru al-Azadi Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz 11,  h. 34
[4] Abu al-Husayn Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyayriy an-Nisaburiy, Shahih Muslim, Juz 5,  (Beirut: Dar al-Jayl/Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th.), h. 73
[5]Abdurrahmân Ibn Abî Bakr Abû al-Fadhl al-Suyûthiy, Syarah al-Suyûthiy 'alâ  Muslim, Juz 4, h. 228 dalam al-Maktabah al-Syâmilah.
[6] Al-Ghazali, Op.cit., h. 40
[7]Shahih Muslim, 1: 65
[8] Al-Bukhariy, Juz 1, h. 56
[9]Syihabuddin Ahmad bin Ali Bin Hajar Al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, Juz 1, Kairo: Mushthafa al-Babiy al-Halabiy, 1959, dalam Terjemahan juz 1, h. 375
[10] Abu Daud, Op.cit., Juz 3, h. 321
[11] Al-Bukhariy, Juz 2, h. 1282
[12]Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib Al-Nasa’iy, Sunan an-Nasâ’iy, Juz 6, h. 573; Al-Bayhaqiy, Sunan al-Bayhaqiy, Juz 2, h. 411 dalam al-Maktabah al-Syâmilah.
[13]Muhammad Athiyah Abrasyi,, al-Tarbiyat al-Islamiyyat wa Falasifatuha, (Mishr: Isa al-Babiy al-Halabiy wa Syurakah, t.th.), h. 225
[14]Al-Bukhari, Op.cit., Juz 1, h. 4
[15] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani,, Fath al-Bâriy li Syarh Shahîh al-Bukhâriy, (ttp.: Dar al-Fikr wa Maktabah as-Salafiyyah, tth), Terj. Juz 1, h. 18

[16]Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid 2, (Semarang: Asy-Syifa', t.th.), h. 177
[17]Husain Mazhahiri, Jihad Melawan Hawa Nafsu, Judul Asli, "Jihâd al-Nafs", Terjemahan Ahmad Subandi, (Jakarta: Lentera, 2009), cet.ke-3, h. 221. Menurut Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin ikhlas (tulus, murni), bersih dan terbebas dari tujuan untuk selain Allah. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasauf, T.tp.: Amzah, 2005, Cet.ke-1, h. 85

[18]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 1, h, 53
[19]Ibnu Hajar, Op.cit., Juz 1, h. 361
[20]Muhammad Suwaid., Op.cit., h. 248
[21]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 4, 2441
[22] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Op.cit., Juz 4, h. 195
[23]Al-Bukhari, Op.cit., h. Juz 1, h. 532
[24] Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 1, h. 42
[25] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Perspektif Hadia, Op.cit., h. 195
[26] Al-Bukhariy, op.cit., h. 43
[27] Muslim, Op.cit., Juz 2, h. 1104
[28] Muslim, Juz 1, h. 36; al-Bukhari, juz 1, h. 31-32; Abu Dawud Juz 4, h. 223-224; An-Nasâ'iy, Juz 15, h. 281 (dalam al-Maktabah al-Syâmilah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar