PENDIDIK
Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki
tanggungjawab untuk mendidik.[1]
Sementara secara khusus, pendidik dalam perspektif pendidikan Islam adalah
orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan
mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif,
kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[2]
Berdasarkan
pengentian di atas, maka dapat dipahami bahwa pendidik dalam perspektif
pendidikan Islam ialah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia
mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah fi
al-ardh maupun ‘abd) sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh
karena itu, pendidik dalam konteks ini bukan hanya terbatas pada orang-orang
yang bertugas di sekolah tetapi semua orang yang terlibat dalam proses
pendidikan anak mulai sejak dalam kandungan hingga ia dewasa, bahkan sampai
meninggal dunia.
A.
Rasulullah saw. sebagai guru
Muhammad SAW, selain sebagai Rasulullah, beliau juga menyatakan
bahwa dirinya adalah sebagai guru bagi
umatnya. Pernyataan itu mengisyaratkan bahwa umat harus menerima
pelajaran-pelajaran yang diberikannya dalam berbagai hal kehidupannya. Sehubungan
dengan ini, terdapat hadis antara lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- مَرَّ بِمَجْلِسَيْنِ فِى مَسْجِدِهِ فَقَالَ :« كِلاَهُمَا
عَلَى خَيْرٍ وَأَحَدُهُمَا أَفْضَلُ مِنْ صَاحِبِهِ ، أَمَّا هَؤُلاَءِ
فَيَدْعُونَ اللَّهَ وَيُرَغِّبُونَ إِلَيْهِ فَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُمْ وَإِنْ
شَاءَ مَنَعَهُمْ ، وَأَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَتَعَلَّمُونَ الْفِقْهَ وَالْعِلْمَ
وَيُعَلِّمُونَ الْجَاهِلَ فَهُمْ أَفْضَلُ ، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّماً »
قَالَ : ثُمَّ جَلَسَ فِيهِمْ.رواه الدارمى
Bahwasanya Abdullab bin Amnu bin al-‘Ash
r.a. berkata, “Pada suatu hari Rasulullah keluar dari salah satu kamar beliau
untuk menuju masjid. Dalam masjid tersebut, beliau mendapati dua kelompok
sahabat. Kelompok pertama adalah golongan orang yang sedang membaca Alquran dan
berdoa kepada Allah s.w.t.. Sedangkan kelompok kedua adalah golongan orang yang sedang sibuk
mempelajari dan mengajarkan ilmu pengetatahuan. Nabi s.a.w. kemudian bersabda:
‘Masing-masing kelompok sama-sama berada dalam kebaikan. Terhadap yang sedang
membaca Alquran dan berdoa kepada Allah, maka Allah akan mengabulkan doa mereka
jika Ia menghendaki, begitupun sebaliknya, doa mereka tidak akan
ditenima oleh Allah jika Ia tidak berkenan mengabulkan doa tersebut. Adapun
terhadap golongan yang belajar-mengajar, maka (ketahuilah) sesungguhnya aku ini
diutus untuk menjadi seorang pengajar (guru). Kemudian Rasul saw. ikut
bergabung bersama mereka’.
B. Kedudukan Pendidik
1.
Sebagai Orang Tua
Menurut Rasulullah saw. pendidik
itu berkedudukan sebagai orangtua. Sehubungan dengan ini terdapat hadis sebagai
berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ
بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ الْغَائِطَ فَلاَ
يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلاَ يَسْتَدْبِرْهَا وَلاَ يَسْتَطِبْ بِيَمِينِهِ
وَكَانَ يَأْمُرُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ وَيَنْهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ.
رواه أبو داود
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw. berabda: Sesungguhnya saya menempati posisi orang tuamu. Aku akan
mengajarmu. Apabila salah seorang kamu mau buang hajat, maka janganlah ia menghadap
atau mebelakangi kiblat, janganlah ia beristinjak (membersihkan dubur sesudah
buang air) dengan tangan kanan. Beliau menyuruh beristinjak (kalau tidak dengan
air), dengan tiga batu dan melarang beristinjak dengan kotoran (najis) dan
tulang.
Dalam hadis di atas
dengan jelas Rasulullah saw. mengatakan bahwa diri beliau itu adalah bagaikan
orangtua dari para sahabatnya. Pengertian bagaikan orangtua adalah
mengajar, membimbing dan mendidik anak-anak seperti yang dilakukan oleh
orangtua. Rasulullah SAW. mengajarkan kepada sahabat bagaimana adab buang
hajat. Sebenarnya, persoalan ini adalah pesoalan orangtua. Akan tetapi, Nabi
yang tidak diragukan lagi bagi umat Islam, sebagai maha guru, pendidik ulung
bagi umat Islam mau juga mengajarkan hal itu.
2.
Sebagai Pewaris Nabi
Sehubungan dengan kedudukan ini, Nabi
SAW. bersabda:
عن أبى دردائ قال سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ
الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ
الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ
حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ
الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا
وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.[3]
رواه الترمذى وأحمد
والبيهقى وأبو داود والدارمى
Abu Dada’ berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Siapa
yang menempuh jalan mencari ilmu, akan
dimudahkan Allah jalan untuknya ke sorga. Seungguhnya Malaikatmenghamparkan
sayapnya karena senang kepada pencari ilm. Sesungguhnya pencari ilmu dimintakan
ampun oleh orang yang ada di langitdan bumi, bahkan ikan yang ada dalam air.
Keutamaan oang berilmu dari orang yang beribadah adalah bagaikan kelebihan
bulan malam purnama dari semua bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi.
Nabi tidak mewariskan emas dan perak, tetapi ilmu. Siapa yang mencari ilmu
hendaklah ia cari sebanyak-banyaknya.
Dalam hadis di atas
dikemukakan beberapa hal penting. Yang berkaitan erat dengan tema ini adalah
"ulama adalah pewaris Nabi". Pendidik, dalam hal ini terutama guru,
adalah orang yang berilmu penegtahuan. Dengan demikian, ia termasuk kategori ulama. Jadi, ia adalah
pewaris para Nabi. Sebagai pewaris Nabi, tentu guru tidak dapat mengharapkan
banyak harta karena beliau tidak mewariskan harta. Akan tetapi, Rasulullah SAW.
tidak pernah melarang orang berilmu termasuk pendidik untuk mencari harta
kekayaan selama proses itu tidak mengurangi upaya pengambilan warisan beliau
yang sebenarnya, yaitu ilmu pengetahuan.
C. Keutamaan
Pendidik
1. Terbebas dari
Kutukan Allah
عن أبى هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَلاَ إِنَّ
الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ
وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ. رواه الترمذى
Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa dia mendengar
Rasulullah saw bersabda: “Ketahuilah ! bahwa sesungguhnya dunia dan segala isinya
terkutuk kecuali zikir kepada Allah dan apa yang terlibat dengannya, orang yang
tahu (guru) atau orang yang belajar.
Dalam hadis ini ditegaskan
bahwa orang yang tahu (guru, pendidik) adalah orang yang selamat dari kutukan
Allah. Ini merupakan keutamaan yang sangat berharga.
2. Didoakan oleh Penduduk Bumi
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ
قَالَ ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاَنِ
أَحَدُهُمَا عَابِدٌ وَالاَخَرُ عَالِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى
أَدْنَاكُمْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ
وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى
الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ. رواه
الترمذى
Abu Umamah al-Bahiliy berkata:
diceritakan kepada Rasulullah saw. dua orang laki-laki, yang satu 'abid (orang
yang banyak beribadah) dan yang satu lagi 'alim (orang yang banyak ilmu). Maka
Rasulullah saw. bersabda: kelebihan seorang alim daripada orang yang beribadah
adalah bagaikan kelebihanku daripada
seorang kamu yang paling rendah. Kemudian Rasulullah saw. berkata (lagi):
Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya dan penduduk langit dan bumi sampai semut yang
berada dalam sarangnya serta ikan berselawat (memohon rahmat) untuk orang yang
mengajarkan kebaikan kepada manusia (pendidik, guru).
Informasi dalam hadis di atas mencakup bahwa Allah memberikan selamat dan
barakah kepada guru. Selain itu, malaikat dan penduduk langit dan bumi termasuk
semut yang berada dalam sarang, ikan yang berada dalam laut mendoakan keaikan
untuk guru yang mengajar orang lain. Ini semua adalah keutamaan yang diberikan
oleh Allah kepada guru.
3.
Mendapat Pahala Berkelanjutan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الاِنْسَانُ
انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ
بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.[4]
رواه مسلم وأحمد النسائي والترمذى
والبيهقى
Abu Hurairah
meriwatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila manusia telah meninggal
dunia terputuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya.
Dalam hadis di atas terdapat
informasi bahwa ada tiga hal yang selalu diberi pahala oleh Allah pada
seseorang kendatipun ia sudah meninggal dunia. Yaitu; (1) sedekah jariyah
(wakaf yang lama kegunaannya), (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) doa yang
dimohonkan oleh anak yang saleh untuk orang tuanya. Sehubungan dengan
pembahasan ini adalah ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh
seseorang ('âlim, guru) kepada orang lain dan tulisan (karangan) yang
dimaksudkan oleh penulis untuk dimanfaatkan orang lain.[5] Pahala yang berkelanjutan merupakan salah
satu keutamaan yang bakal diperoleh oleh pendidik (guru).
Keutamaan ini diberikan kepada guru karena ia sudah
memberikan sesuatu yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Al-Ghhazali
mengemukakan bahwa Hasan al-Bashri berkata: Kalau sekirarnya orang-orang
berilmu tidak ada, niscaya manusia akan bodoh seperti hewan, karena hanya
dengan mengajar, para ulama dapat menaikkan orang banyak dari tingkat kehewanan
ke tingkat kemanusiaan.[6]
D. Syarat-syarat Pendidik
1.
Pendidik harus beriman
Pendidik
adalah orang yang bertanggung jawab
membimbing anak untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu beriman dan bertakwa
kepada Allah SWT. Agar tujuan tersebut dapat tercapai,
pendidik terlebih dahulu harus beriman. Sehubungan dengan ini, terdapat hadis sebagai
berikut:
Pendidik harus beriman:
عن
سفيان بن عبد الله الثقفي قال قُلْتُ ياَ رَسُوْلُ اللهِ قُلْ لِيْ فِي الإِسْلاَمِ
قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ (وَفِي حَدِيْثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ) : قَالَ قُلْ آمَنْتُ باِللهِ فَاسْتَقِمْ.[7]
رواه مسلم وأحمد
Sufyan bin Abdullah al-Saqafiy meriwayatkan
bahwa ia berkata kepada Rasulullah: Ya Rasulullah ! Katakanlah
kepada saya sesuatu tentang Islam yang tidak akan saya tanyakan lagi sesudah
Engkau! Nabi berkata: Katakanlah! Saya beriman kepada Allah lalu tetapkanlah
pendirianmu.
Hadis ini menunjukkan bahwa iman kepada Allah dan istiqamah dengan
pengakuan keimanan itu merupakan suatu hal yang sudah cukup dan memadai bagi
seseorang muslim. Oleh karena itu, para pendidik harus berusaha agar peserta
didik memiliki iman yang kuat dan teguh pendirian
dalam melaksanakan tuntutan iman tersebut. Segala aktivitas kependidikan agar
diarahkan menuju terbentuknya pribadi-pribadi yang beriman.
2. Pendidik
harus berilmu
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم
- يَقُولُ « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا ، يَنْتَزِعُهُ
مِنَ الْعِبَادِ ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ، حَتَّى
إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا ،
فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.[8]
رواه البخارى
Abdullah ibn 'Amru ibn al-'Ash meriwayatkan bahwa ia
mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak menarik ilmu penetahuan
kembali dengan mencabutnya hati sanubar manusia, akan tetapi dengan mewafatkan orang-orang
berpengetahuan (ulama).Apabila tidak ada lagi orang alim yang tersisa, manusia akan mengangkat
orang bodoh menjadi pemimpin yang dijadikan tempat bertanya. Lalu orang-orang
bodoh itu ditanya dan mereka berfatwa tanpa ilmu mengakibatkan mereka sesat dan
menyesatkan.
Hadis ini berisi anjuran menjaga ilmu, peringatan
bagi pemimpin yang bodoh, peringatan bahwa yang berhak mengeluarkan fatwa
adalah pemimpin yang benar-benar mengetahui, dan larangan bagi orang yang
berani mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan. Hadis ini juga
dijadikan alasan oleh jumhur ulama untuk mengatakan, bahwa pada zaman sekarang
ini tidak ada lagi seorang mujtahid.[9]
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa orang yang
berfatwa dan mengajar harus berilmu pengetahuan. Termasuk dalam hal ini adalah
pendidik, guru. Bila pendidik tidak berilmu pengetahuan, maka murid-murid yang
diajarnya akan sesat atau dalam bahasa kependidikan bila guru tidak profesional
akan mengakibatkan proses pembelajaran akan sia-sia. Dalam Undang-undang Guru
dan Dosen Republik Indonesia, salah satu syarat bagi guru adalah profesional.
عن أَبى هُرَيْرَةَ
يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ أفْتى بِغَيْرِ
عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ[10].
رواه أبو داود
Dari Abi Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, Siapa
yang berfatwa tanpa ilmu, maka dosanya akan dipikul oleh orang yang berfatwa
itu.
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW.
menyebut, siapa yang berfatwa. Berfatwa adalah memberikan ilmu kepada orang
lain. Mengajar dan mendidik juga memberikan ilmu kepada orang lain. Dengan
demikian, keduanya sama. Berfatwa dan
mendidik, mengajar tanpa ilmu akan menyesatkan orang lain. Karena, Rasulullah
SAW. melarang keras berfatwa bila seseorang tidak memiliki ilmu.
3. Mengamalkan
Ilmunya:
عَنْ ِأُسَامَةَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَاءُ بِالرَّجُلِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي
النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ
النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ
تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ
بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ.[11]
رواه البخارى
Usamah meriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Seseorang akan didatangkan pada hari kiamat
dan dilemparkan ke neraka. Maka usus-ususnya keluar di neraka. Ia pun
berputar sebagaimana berputarnya keledal di penggilingan. Para penghuni neraka
berkumpul kepadanya dan bertanya, wahal fulan! Ada apa denganmu? Bukankah
engkau dahulu memerintahkan kami untuk melakukan yang ma ‘ruf dan melarang kami
dari perbuatan munkar? Ia menjawab, ‘Dahulu aku memerintahkan kamu kepada yang
ma‘ruf tetapi aku tidak melakukannya, dan aku melarang kamu dan perbuatan
mungkar tetapi aku mengerjakannya,”
Hadis di atas menjelaskan siksaan Allah yang bakal
diterima oleh orang yang mengajarkan kebaikan (al-amr bi al-ma'ruf) tetapi
ia sendiri tidak mengerjakannya, dan orang yang menasihati orang agar
meninggalkan yang jelek (al-nahy 'an al-munkar) tetapi ia sendiri
mengerjakannya. Tugas tersebut adalah
salah satu yang dikerjakan oleh pendidik, guru. Jadi guru harus
mengamalkan ilmu yang diajarkannya kepada peserta didiknya agar terhindar dari
siksa Allah.
4. Pendidik harus adil
عن النُّعْمَان بْنَ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْدِلُوا
بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ.[12]
رواه النسائى والبيهقى
Dari Nu'manusia ibn Basyir, ia berkata: Rasulullah saw.
bersabda: berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu! Berlaku adillah kamu
di antara anak-anakmu!
Dalam hadis ini dengan tegas Rasulullah
saw. memerintahkan kepada para sahabat (umatnya) agar berlaku adil terhadap
anak-anaknya. Dalam konteks pendidikan, peserta didik itu adalah anak oleh
pendidiknya. Dengan demikian, pendidik
wajib berlaku adil dalam berbagai hal terhadap peserta didiknya.
Muhammad Athiyah Abrasyi menegaskan agar pendidik itu harus
memiliki sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan.[13] Keadilan pendidik terhadap peserta didik
mencakup dalam berbagai hal, seperti: memberikan perhatian, kasih sayang,
pemenuhan kebutuhan, bimbingan, pengajaran dan pemberian nilai. Bila sifat ini
tidak dimilikioleh seorang pendidik, maka ia tidak akan disenangi oleh peserta
didiknya. Bila ini terjadi proses pembelajaran tidak akan mendapatkan hasil
yang optimal.
5. Pendidik Berniat Ikhlas
عن أمير المؤمنين عمر ابن الخطاب رضى
الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إنما الأعمال بالنيات
وإنما لكل امرئ مانوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله،
ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ماهاجر إليه[14]
(رواه البخارى ومسلم).
Umar bin Khaththab RA berkata, “Aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tiap-tiap amal perbuatan harus disertai dengan
niat, balasan bagi setiap amal manusia sesuai dengan apa yang diniatkan.
Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan dunia atau seorang perempuan
untuk dinikahi, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkan.”
Ibnu Hajar
menjelaskan bahwa tiap-tiap amal perbuatan harus disertai dengan niat. Menurut
Al Khauyi, seakan-akan Rasulullah memberi pengertian bahwa niat itu
bermacam-macam sebagaimana perbuatan. Seperti orang yang melakukan perbuatan
dengan motivasi ingin mendapat ridha Allah dan apa yang dijanjikan kepadanya,
atau ingin menjauhkan diri dari ancamanNya.[15]
Niat yang benar adalah keinginan dalam hati dalam melaksanakan suatu kegiatan
untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Pendidik hendaknya membebaskan niatnya,
semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa
perintah, larangan, nasihat, pengawasan atau hukuman. Buah yang dipetiknya
adalah, ia akan melaksanakan metode pendidikan, mengawasi anak secara edukatif
terus-menerus, di samping mendapat pahala dan keridhaan Allah. Ikhlas dalam
perkataan dan perbuatan adalah sebagian dari asas iman dan keharusan Islam. Allah
tidak akan menerima perbuatan tanpa dikerjakan secara ikhlas.[16]
Perintah untuk ikhlas, tercantum dalam Al-Qur’an dengan tegas, Surat
Al-Bayyinah: 5.
Kata ikhlash terambil dari kata khalasha.
Menurut Husain Mazhahiri, kata khalasha, kata khalushan, dan kata khalashan
berarti jernih, , lenyap kotoran darinya. Kalimat akhlasha sy-syai’a berarti
menjernihkan dan menyucikannya dan kotorannya Adapun kalimat " dia
mengikhlaskan agamanya hanya untuk Allah” berarti dia meninggalkan sifat riya
di dalam agamanya. Barangsiapa yang pikiran, perbuatan, dan ucapannya sejalan
dengan apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an al-Karim maka dia adalah orang yang
ikhlas kepada Allah, dan dia akan senantiasa berada dalam pertolongan-Nya dalam
menjalani peperangan berkecamuk dalam dalam dirinya, untuk kemudian setelah itu
ia samapai kepada tujuan-tujuan yang luhur. [17]
Mengapa pendidik
harus memiliki niat yang ikhlas? Dengan keikhlasan karena Allah, pendidik dalam
melaksanakan tugasnya akan mendapatkan kemudahan. Karena sasaran pendidikan itu
adalah hati. Apa yang diberikan dengan hati akan diterima oleh hati dengan
baik. Dengan demikian, proses pendidikan
akan mencapai hasil yang optimal. Selain itu dan yang tidak kalah pentingnya
adalah semua proses pendidikan yang diberikan oleh pendidik dengan ikhlas akan
dihitung sebagai ibadah kepada Allah. Jadi, sangat rugi pendidikan yang
melaksanakan tugas kependidikannya tanpa disertai dengan niat yang ikhlas.
Selain bersifat ikhlas, pendidik harus mengajar
peserta didi untuk berbuat ikhlas, baik di dalam melaksanakan pekerjaan
atau-pun proses belajarnya. Semuanya itu harus mereka laksanakan dengan ikhlas,
demi mendapatkan rida dari Allah SWT. Jangan sampai, perbuatan tersebut
dilandaskan pada sifat munafik, riya, atau hanya ingin mendapatkan rasa terima
kasih dan pujian dari orang-orang.
Segala bentuk pekerjaan dinilai sesuai dengan niat
pelakunya. Oleh sebab itu, proses pendidikan dapat bernilai ibadah bila orang
yang melaksanakannya mempunyai niat yang ikhlas. Agar mendapat pahala dari
Allah, pendidik/Pendidik harus mendidik/mengajar dengan niat mengerjakan
perintah Allah dan mengharapkan rida-Nya. Niat merupakan salah satu motivasi
intrinsik (dorongan yang berada di dalam diri seseorang). Motivasi ini sangat
besar pengaruhnya kepada hasil pekerjaan seseorang. Oleh sebab itu, dalam
kegiatan belajar mengajar, pendidik dan peserta didik harus mempunyai motivasi
yang benar.
6. Pendidik
harus Berlapang Dada
عَنْ أَبِي مُوسَى
قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَشْيَاءَ
كَرِهَهَا فَلَمَّا أُكْثِرَ عَلَيْهِ غَضِبَ ثُمَّ قَالَ لِلنَّاسِ سَلُونِي
عَمَّا شِئْتُمْ قَالَ رَجُلٌ مَنْ أَبِي قَالَ أَبُوكَ حُذَافَةُ فَقَامَ آخَرُ
فَقَالَ مَنْ أَبِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُوكَ سَالِمٌ مَوْلَى شَيْبَةَ
فَلَمَّا رَأَى عُمَرُ مَا فِي وَجْهِهِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَتُوبُ
إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.[18]
رواه البخارى.
Dari Abu Musa radhiallahu anhu, dia
berkata, “Seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengenai
perkara yang tidak disukai beliau. Maka tatkala orang itu terrlalu banyak bertanya,
Nabi menjadi marah. Kemudian beliau berkata, “Tanyakan!ah apa yang hendak kamu
tanyakan.”Seorang laki-laki bertanva, “Siapakah bapakku?” Nabi menjawab.
“Bapakmu, Hudzafah.” Bertanya pula yang lain, “Siapakah bapakku hai
Rasulullah?” Nabi menjawab, “Bapakmu Salim, hamba sahara Syaibah.”Taikala Umar
bin Khaththab,) melihat rasa kurang senang tergambar di wajah Rasululluh karena
soal-soal yang tidak menentu itu. segera ia berkata, "Wahai
Rasulullah SAW. ! Kami tobat kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Agung.
Dalam hadis di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw. juga merasa marah
ketika ada hal-hal yang tidak diinginkannya ditampilkan di depannya. Dalam
kasus ini, sahabat bertanya banyak tentang hari kiamat. Akan tetapi kemarahan
beliau itu tidak sempat menghilangkan sifat lapangan dadanya.
Menurut Ibnu Hajar, bahwa orang yang memberi nasihat boleh menampakkan
sikap marah, karena dia sebagai orang yang memberi peringatan. Begitu juga
seorang guru, jika dia mencela kesalahan murid yang belajar kepadanya. Karena
terkadang hal itu terpaksa dia lakukan agar si murid dapat mencrima kebenaran
darinya, akan tetapi hal itu harus disesuaikan dengan keadaan psikologi
masing-masing murid. [19]
Sikap lapang dada dan jauh dari
kedengkian akan mewujudkan keseimbangan jiwa bagi manusia dan akan
membiasakannya untuk selalu cinta kepada kebaikan bagi masyarakat. Ia juga
akan memberikan jalan bagi kebaikan pada jiwa manusia untuk sampai kepada
puncaknva. Nabi telah memberiikan bimbingan sahabat Anas bin Malik - ketika masih kecil agar mencuci noda-noda jiwa setiap pagi dan
petang dengan cara memberikan maaf kepada setiap orang yang berbuat jahil kepadanya,
dan juga mengosongkan hatinya dari sisa-sisa hembusan setan ke dalam akal
pikiran.[20]
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ
الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَلاَ
تُزْرِمُوهُ قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ[21].
رواه البخارى
Dari
Anas, sesungguhnya seorang Arab kencing dalam masjid. Lalu orang-orang berdiri
dan menghadang ke sana. Rasulullah SAW. bersabda, biarkanlah dia (sampai
selesai), jangan hentikan. Setelah selesai, beliau meminta setimba air lalu menyiram kencing
laki-laki itu.
Laki-laki
yang kencing itu adalah orang Arab Badwi. Ia kencing mungkin karena
ketidaktahuannya akan najis, atau karena sebab lain. Yang jelas, Rasulullah
SAW. tidak marah kepadanya dan melarang sahabat untuk memarahinya. Dalam kasus
ini, Rasulullah SAW. sendiri yang langsung menyiram/membasuh kencing nitu. Dalam
hadis ini terlihat betapa berlapang dadanya Rasulullah SAW. sebagai rasul dan
pendidik.
D. Sifat-sifat Pendidik
1. Sifat Lemah Lembut dan Kasih Sayang
عَنْ أَبِي
سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا
عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا
عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا
فَقَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا
رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ
أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ. رواه البخارى
Abu Sualiman Malik ibn al-Huwayris berkata: Kami, beberapa orang
pemuda sebaya datang kepada Nabi saw.,
lalu kami menginap bersama beliau selama 20 malam. Beliau menduga bahwa kami telah merindukan
keluargadan menanyakan apa yang kami tinggalkan pada keluarga. Lalu, kami
memberitahukannya kepada Nabi. Beliau adalah seorang yang halus perasaannya dan
penyayanglalu berkata: “Kembalilah kepada keluargamu! Ajarlah mereka, suruhlah
mereka dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan salat.
Apabila waktu salat telah masuk, hendaklah salah seorang kamu mengumandangkan
azan dan yang lebih senior hendaklah menjadi imam.
Di antara
informasi yang dapat dari hadis di atas adalah
(1). Ada sekelompok pemuda sebaya datang dan menginap di rumah
Rasulullah SAW., (2). Pemuda itu belajar masalah agama (ibadah) kepada
Rasulullah SAW. , (3). Rasulullah SAW. telah memperlakukan mereka dengan santun
dan kasih sayang, (4). Rasulullah SAW. menyuruh mereka mengajarkan salat kepada
keluarga masing-masing seperti beliau mengajar mereka. Di antara informasi
tersebut, yang berkaitan erat dengan sub tema ini adalah beliau memperlakukan
para sahabat tersebut dengan santun dan kasih sayang.
Pendidik yang
mampu bersikap santun kepada peserta didiknya sesuai dengan tuntutan Allah
dalam Alquran, sebagaimana terdapat dalam ayat-Nya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ
لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)
Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246].
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Ahmad musthafa Al-Maraghi menjelaskan, andaikata
engkau (Muhammad ) bersikap kasar dan galak dalam muamalah dengan mereka (kaum
muslimin), niscaya mereka akan bercerai (bubar) meninggalkan engkau dan tidak
menyenangimu. Sehingga engkau tidak bisa menyampaikan hidayah dan bimbingan
kepada mereka ke jalan yang lurus. [22]
Berdasarkan tafsir ini, seorang pendidik harus memiliki rasa santun kepada
setiap peserta didiknya dalam proses pendidikan. Bila tidak, maka kekasaran itu
akan menjadi penghalang baginya untuk mencapai tujuan pendidikan.
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ
كَبِيرَنَا وَيَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ. رواه
الترمذى
Ibn Abbas meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda: Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak
menyayangi yang lebih kecil, tidak memuliakan yang lebih besar, tidak menyuruh
berbuat makruf, dan tidak mencegah perbuatan munkar.
Kandungan
hadis ini umum, termasuk semua umat Islam, umat Nabi Muhammad SAW. juga
pendidik. Pendidik harus memiliki sifat kasih sayang kepada peserta didiknya
agar mereka dapat menerima pendidikan dan pengajaran dengan hati yang senang
dan nyaman. Segala proses edukatif yang dialkukan oleh pendidik harus diwarnai
oleh sifat kasih sayang ini.
2.
Mengembalikan Ilmu kepada Allah
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
- رضى الله عنهم - قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ
أَوْلاَدِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالَ « اللَّهُ إِذْ خَلَقَهُمْ أَعْلَمُ بِمَا
كَانُوا عَامِلِينَ[23].
رواه البخارى ومسلم
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. ditanya tentang anak-anak orang yang musyrik. Lalu beliau
menjawab: Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka kerjakan pada saat ia
diciptakan.
Dalam hadis ini dinyatakan
bahwa Rasulullah SAW. ditanya oleh sahabat tentang nasib anak-anak orang
musyrik pada hari kiamat nanti. Beliau menjawab, "Allah lebih
mengetahui" atau "Allah mengetahui" apa yang mereka lakukan. Di
sini terlihat bahwa Rasulullah SAW. tidak selalu menjawab pertanyaan yang
diajukan kepadanya, kendatipun beliau adalah Rasulullah. Beliau tidak merasa
risih dengan sikap tidak memberikan jawaban yang pasti. Itulah sesungguhnya
sikap yang harus dimiliki oleh setiap pendidik. Bila ternyata ada hal yang
diragukan atau belum diketahui sama sekali, jangan segan mengatakan "Allah
Yang Mahatahu. Itu adalah salah satu bentuk sikap tawadhu' seorang hamba.
3.
Memperhatikan Keadaan Peserta Didik
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ
قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا
بِالْمَوْعِظَةِ فِي الْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا[24].
رواه البخارى
Dari Ibnu
Mas'ud, Nabi SAW. selalu menyelingi hari-hari belajar untuk kami untuk menghindari
kebosanan kami.
Dalam hadis ini terdapat
informasi bahwa Rasulullah saw. mengajar sahabat tidak setiap hari, tetapi ada
waktu belajar dan ada pula waktu istirahat. Hal itu dilakukannya untuk menghindari kebosanan
kepada pelajaran. Itu berarti bahwa Rasulullah saw. memperhatikan kondisi para
sahabat (peserta didik) dalam mengajar. Peserta didik membutuhkan selingan
waktu untuk beristirahat.
Menurut Muhammad Utsman Najati, di antara temuan
riset mutakhir dalam proses belajar ialah jadwal waktu belajar. Dengan kata
lain, dalam proses belajar harus ada jenjang waktu untuk istirahat. Hal ini
sangat penting dalam proses belajar yang tepat dan cepat. Dengan
mengatur jadwal waktu belajar, pelajaran yang akan disampaikan berikutnya dapat
dicerna dengan baik. [25]Oleh
karenanya, prinsip belajar dengan membagi waktu belajar ini
dapat menghilangkan rasa lelah dan bosan.
Sebelum para ahli kejiwaan modern menemukan
prinsip ini, sudah sejak empat belas
abad yang silam Alquran telah mempraktekkan prinsip ini . Prinsip
ini ditandai dengan peristiwa
diturunkannya Alquran secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Tujuannya ialah
memberi ruang waktu yang dapat memungkinkan kaum muslim mudah menghafalkannya.
Dalam hadis di atas, Rasulullah SAW juga
mempraktekkan prinsip “pembagian waktu belajar”. Ini sebagai metode mendidik
jiwa para sahabatnya dengan tujuan agar mereka tidak merasa bosan. Diriwayatkan
dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA, berkata: Nabi SAW dalam beberapa hari pernah
memberi nasihat kepada kami sehingga perasaan benci dan bosan itu muncul pada
diri kami semua.”Abu Wail RA berkata:
“Setiap hari Kamis, Abdullah memberi ceramah kepada sekelompok orang. Salah
seorang di antara mereka berkata kepada beliau, Hai ayah Abdurrahman! Saya
berharap engkau setiap hari memberi ceramah kepada kami.” Ia menjawab, “Aku
tidak bisa setiap hari karena sesungguhnya aku tidak suka melihat kalian bosan.
Aku memberi ceramah kepada kalian seperti Nabi SAW memberi peringatan kepada
kami. Kami takut bila rasa bosan menimpa kami semua.[26]
Secara praktis, prinsip ini dilakukan Nabi SAW
ketika menyuruh para sahabat mempelajari 10 ayat Alquran. Mereka tidak
diperbolehkan mempelajari lebih dari itu kecuali setelah mereka benar-benar
memahami dan mengamalkan ajaran yang terkandung dalam ayat tersebut. Abdullah
bin Mas’üd RA berkata: “ Kami belajar pada Nabi SAW 10 ayat Alquran, setelah
itu kami tidak belajar ayat Alquran hingga kami benar-benar mendalami 10 ayat
tersebut.” Ditanya oleh temannya, “Apakah karena
mengamalkannya?” Ia menjawab: “Benar
عن
عائشة قال قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسلم: إِنَّ اللهَ لَمْ يَبْعَثْنِيْ مُعْنِتاً وَلاَ مُتَعَنِّتًا
وَلَكِنْ بَعَثَنِيْ مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا[27]. رواه مسلم
Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w.
bersabda kepada ‘Aisyah: “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang
yang menyusahkan dan merendahkan orang lain. Akan tetapi, Allah
mengutusku sebagai seorang pengajar (guru) dan pemberi kemudahan.”
4.
Berlaku
dan Berkata Jujur
عن
عمر بن الخطاب ... قاَلَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ
السَّاعَةِ قاَلَ ماَ المْسَؤُْوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّاِئلِ....[28]
رواه البخارى ومسلم.
Umar
ibn al-Khatthâb meriwayatkan: … Jibril berkata lagi, Beritahukan kepadaku
tentang hari kiamat! Rasulullah saw. menjawab: tentang masalah ini, saya tidak
lebih tahu dari Anda. ...
Dalam hadis di atas dikatakan bahwa ketika Nabi SAW. ditanya oleh malaikat
Jibril tentang hari kiamat, belia menjawab, saya tidak lebih tahu daripada
Anda, saya sama-sama tidak tahu dengan Anda. Beliau tidak mentang-mentang
Rasulullah, lalu menjawab semua yang ditanyakan kepadanya. Beliau tidak
segan-segan mengatakan tidak tahu bila yang ditanyakan orang itu tidak
diketahuinya. Inilah sifat nyg harus dimiliki oleh setiap pendidik.
Seorang ilmuan, guru, dan pendidik harus bersifat jujur dan terbuka. Bila
ditanya orang tentang suatu hal yang tidak diketahuinya, dia harus berani
mengatakan tidak tahu. Jangan bergaya serba tahu. Jangan mengada-ada untuk
menjaga gengsi keilmuan.
[2]Ahmad Tafsir,
(ed)., Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1992), h. 74-75
[3] Sulaiman bin al-Asy’as
bin Syaddad bin Amru al-Azadi Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz
11, h. 34
[4] Abu al-Husayn Muslim ibn al-Hajjaj ibn
Muslim al-Qusyayriy an-Nisaburiy, Shahih Muslim, Juz 5, (Beirut: Dar al-Jayl/Dar al-Afaq
al-Jadidah, t.th.), h. 73
[5]Abdurrahmân Ibn Abî Bakr
Abû al-Fadhl al-Suyûthiy, Syarah al-Suyûthiy 'alâ Muslim, Juz 4, h. 228 dalam al-Maktabah
al-Syâmilah.
[7]Shahih Muslim, 1: 65
[9]Syihabuddin Ahmad bin Ali Bin Hajar
Al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, Juz 1,
Kairo: Mushthafa al-Babiy al-Halabiy, 1959, dalam Terjemahan juz 1, h. 375
[12]Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib
Al-Nasa’iy, Sunan an-Nasâ’iy, Juz 6, h. 573; Al-Bayhaqiy, Sunan
al-Bayhaqiy, Juz 2, h. 411 dalam al-Maktabah al-Syâmilah.
[13]Muhammad Athiyah Abrasyi,, al-Tarbiyat al-Islamiyyat wa
Falasifatuha, (Mishr: Isa al-Babiy al-Halabiy wa Syurakah, t.th.), h. 225
[14]Al-Bukhari, Op.cit., Juz 1, h. 4
[15] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani,, Fath
al-Bâriy li Syarh Shahîh al-Bukhâriy, (ttp.: Dar al-Fikr wa Maktabah
as-Salafiyyah, tth), Terj. Juz 1, h. 18
[16]Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman
Pendidikan Anak dalam Islam, Jilid 2, (Semarang: Asy-Syifa', t.th.), h. 177
[17]Husain Mazhahiri, Jihad Melawan
Hawa Nafsu, Judul Asli, "Jihâd al-Nafs", Terjemahan Ahmad
Subandi, (Jakarta:
Lentera, 2009), cet.ke-3, h. 221. Menurut Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin ikhlas (tulus, murni), bersih dan
terbebas dari tujuan untuk selain Allah. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin,
Kamus Ilmu Tasauf, T.tp.: Amzah, 2005, Cet.ke-1, h. 85
[18]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 1, h, 53
[19]Ibnu Hajar, Op.cit., Juz 1, h. 361
[21]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 4, 2441
[23]Al-Bukhari, Op.cit., h. Juz 1, h.
532
[28] Muslim, Juz 1, h. 36; al-Bukhari, juz 1, h. 31-32; Abu Dawud Juz 4,
h. 223-224; An-Nasâ'iy, Juz 15, h. 281 (dalam al-Maktabah al-Syâmilah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar