KEWAJIBAN BELAJAR
Pada bagian ini akan dibicarakan perintah
menuntut ilmu, keutamaan belajar, dan keutamaan mengajar serta urgensi ilmu.
A. Perintah Menuntut Ilmu
Ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan oleh manusia
untuk mencapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Sehubungan dengan
itu, Allah mengajarkannya kepada Adam dan semua keturunannya. Dengan ilmu
pengetahuan itu, manusia dapat melaksanakan tugasnya dalam kehidupan ini, baik
tugas khilafah maupun tugas ubudiyah. Oleh karena itu, Rasulullah saw.
menyuruh, menganjurkan dan memotivasi umatnya agar menuntut ilmu pengetahuan.
Sehubungan dengan ini ditemukan hadis antara lain:
عن
ابْنُ مَسْعُودٍ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« تَعَلَّمُوا
الْعِلْمَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ ، تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوْهُ
النَّاسَ ، تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوْهُ النَّاسَ ، فَإِنِّى امْرُؤٌ
مَقْبُوضٌ ، وَالْعِلْمُ سَيُنْتَقَصُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ
اثْنَانِ فِى فَرِيضَةٍ لاَ يَجِدَانِ أَحَداً يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا.[1] رواه الدارمى والدارقطنى
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, “Rasulullah saw.
berkata kepadaku ‘Tuntutlah ilmu pengetahuan dan ajarkanlah kepada orang lain.
Tuntutlah ilmu kewarisan dan ajarkanlah kepada orang lain. Pelajarilah Alquran
dan ajarkanlah kepada orang lain. Saya ini akan mati. Ilmu akan berkurang dan
cobaan akan semakin banyak, sehingga terjadi perbedaan pendapat antara dua
orang tentang suatu kewajiban, mereka
tidak menemukan seorang pun yang dapat menyelesaikannya.’
Dalam
hadis ini ada tiga perintah belajar, yaitu perintah mempelajari ‘al-‘ilm’,
‘al-faraid’ dan ‘al-Qur’an’. Menurut Ibnu Mas’ud, ilmu yang
dimaksud di sini adalah ilmu syariat dan segala jenisnya. Al-Fara’id adalah
ketentuan-ketentuan baik ketentuan Islam secara umum maupun ketentuan tentang
harta warisan. Mempelajari Alquran mencakup menghafalya. Setelah dipelajari
ajarkan pula kepada orang lain supaya lebih sempurna. Beliau memerintahkan agar
sahabat mempelajari ilmu karena beliau sendiri adalah manusia seperti manusia
pada umumnya. Pada suatu saat, beliau akan wafat. Dengan adanya orang
mempelajari ilmu, ilmu pengetahuan itu tidak akan hilang.[2]
Mengingat
pentingnya ilmu pengetahuan, dalam hadis di atas, setelah dipelajari, ia harus
diajarkan kepada orang lain. Rasulullah saw. mengkhawatirkan bila beliau telah
wafat dan orang-orang tidak peduli dengan ilmu pengetahuan, tidak ada lagi
orang yang mengerti dengan agama sehingga orang akan kebingungan.
Selain
perintah menuntut ilmu pengetahuan dalam hadis di atas, ada lagi hadis yang
lebih tegas tentang kewajiban menuntut ilmu pengetahuan.
عن حسين بن علي قال :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ »[3] رواه
والبيهقى الطبرانى
وأبو
يعلى والقضاعى و أبو نعين الأصبهاني
Husain bin Ali meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw. bersabda: “Menuntut ilmu pengetahuan wajib bagi setiap orang Islam.
Dalam
menyuruh manusia mencari ilmu pengetahuan, Allah menggunakan ungkapan yang
bervariasi. Kadang-kadang Allah menggunakan perintah agar manusia membaca.
Kegiatan membaca akan menghasilkan ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dalam QS
Al-'Alaq/96: 1-5. Kadang-kadang Allah memakai perintah mengamati fenomena alam
semsesta. Pengamatan ini akan melahirkan ilmu pengetahuan pula. Ungkapan ini
ditemukan antara lain dalam QS Al-Ghâsyiyah/88: 17-20. Di tempat lain Allah
menggunakan motivasi dengan ungkapan mengangkat derajat orang yang berilmu
pengetahuan yang beriman. Motivasi ini akan mendorong orang untuk belajar.
Pernyataan ini dapat dilihat antara lain dalam QS Al-Mujadilah/58: 11.
Perintah
menuntut ilmu yang disampaikan oleh Rasulullah saw. sejalan dengan perintah
Allah dalam Alquran. Dalam Alquran ditemukan ayat-ayat yang bermaksud perintah
menuntut ilmu pengetahuan dan petunjuk-petunjuk tentang urgensi ilmu
pengetahuan itu. Di ataranya:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ،
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ، اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ، الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ، عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ [العلق\96:
1-5]
Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.
Ayat ini dapat
dijadikan sebagai alasan bahwa ilmu pengetahuan itu penting dalam kehidupan
manusia. Allah memerintahkan agar manusia
membaca sebelum memerintahkan melakukan pekerjaan dan ibadah yang lain. Ayat ini juga menunjukkan karunia Allah SWT.
kepada manusia sebab ia dapat menemukan kemampuan belajar bahasa. Tambahan
lagi, manusia juga dapat mempelajari baca tulis, ilmu pengetahuan, keterampilan
yang beragam, petunjuk dan keimanan, serta hal-hal yang tidak diketahui oleh
manusia sebelum diajarkan kepadanya.
Betapa pentingnya ilmu pengetahuan
dalam kehidupan manusia tidak diragukan lagi. Dalam melaksanakan pekerjaan dari
yang sekecil-kecilnya sampai kepada yang sebesar-besarnya, manusia membutuhkan
ilmu pengetahuan. Dalam Alquran dapat dilihat bahwa setelah Allah menyatakan
Adam sebagai Khalifah Allah di muka bumi, maka ia dipersiapkan dengan ilmu
pengetahuan. Hal itu dimaksudkan agar Adam mampu mengemban tugasnya sebagai
khalifah. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam ayat:
وَعَلَّمَ آَدَمَ الْأَسْمَاءَ
كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ
هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ، قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ
مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ، قَالَ يَا آَدَمُ أَنْبِئْهُمْ
بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ
إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا
كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ. (البقرة\2:
31-33).
Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu memang orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda
ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu,
Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya
Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan?"
Belajar nama segala
sesuatu adalah belajar “kata-kata” yang melambangkan pengertian-pengertian atau
konsep-konsep. Jadi, ketika kita menyebut kata hishân (kuda) atas sekumpulan
hewan tertentu, berarti kita mempergunakan simbol bahasa yang menunjukkan
pengertian atau konsep yang dapat diterapkan pada seluruh kuda lainnya. Atas dasar ini, kita memahami firman Allah
SWT., “Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama,” dalam arti,
Dia mengajarkan bahasa kepada Adam as. Allah SWT.
menyebut bahasa dengan ungkapan ‘seluruh nama’, maksudnya Dia mengajari Adam
nama-nama yang melambangkan konsep-konsep.
Belajar “nama” yang
melambangkan konsep tertentu mencakup pengenalan sifat-sifat dan karakteristik
yang mengikutsertakan semua satuan jenis yang tercakup oleh konsep tersebut.
Jadi, pada saat kita belajar menggunakan kata hishân (kuda) untuk
menunjukkan seluruh kuda yang kita lihat, sebelumnya kita telah belajar bahwa
semua kuda yang pernah kita lihat mempunyai kesamaan sifat tertentu. Oleh
karena itu, kita juga dapat memahami dan firman Allah SWT., “Dan Dia
mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama” bahwa Allah SWT. juga telah
mengajari Adam a.s. sifat-sifat, karakteristik, dan perbuatannya.[4]
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ
لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا
فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ. (التوبة\9: 122)
Tidak sepatutnya bagi orang-orang
yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya.
Menurut Al-Marâghi, ayat tersebut merupakan isyarat tentang wajibnya
melakukan pendalaman agama dan bersedia mengajarkannya di tempat-tempat
pemukiman serta memberikan pemahaman kepada orang-orang lain tentang agama,
sebanyak yang dapat memperbaiki keadaan mereka. Sehingga, mereka tidak bodoh
lagi tentang hukum-hukum agama secara umum yang wajib diketahui oleh setiap mukmin.
Orang-orang yang beruntung adalah orang
yang memperoleh kesempatan untuk mendalami agama dengan maksud seperti ini.
Mereka mendapat kedudukan yang tinggi di sisi Allah, dan tidak kalah tingginya
dari kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwa dalam meninggikan
kalimat Allah, membela agama dan ajaran-Nya. Bahkan, mereka boleh jadi lebih
utama dari pejuang pada situasi lain ketika mempertahankan agama menjadi wajib
‘ain bagi setiap orang.[5]
Untuk lebih tegas dalam hadis riwayat Husain
ibn Ali di atas, Rasulullah saw. menggunakan kata-kata wajib, harus (farîdhah).
Hal itu menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan itu memang benar-benar urgen dalam
kehidupan manusia terutama orang yang beriman. Tanpa ilmu pengetahuan, seorang
mukmin tidak dapat melaksanakan aktivitasnya dengan baik menurut ukuran ajaran
Islam. Bila ada orang yang
mengaku beriman tetapi tidak mau mencari ilmu, maka ia dipandang telah
melakukan suatu pelanggaran, yaitu tidak mengindahkan perintah Allah dan
Rasul-Nya. Akibatnya, tentu, mendapatkan kemurkaan
Allah dan akhirnya akan masuk ke dalam neraka Allah.
B. Keutamaan Belajar
Mencari
ilmu adalah suatu aktivitas yang
memiliki tantangan. Tantangan itu dapat berbentuk biaya, waktu, kesehatan,
kecerdasan dan lain sebagainya. Orang yang mampu menghadapi tantangan itu
adalah orang yang memiliki keikhlasan
dan semangat rela berkorban. Ada
orang yang tidak sukses dalam menuntut ilmu karena tidak sabar dalam berjuang
menghadapi tantangan. Ketika menuntut ilmu, seseorang tidak dapat mencari uang
bahkan sebaliknya menghabiskan uang. Bagi orang yang tidak memiliki tabungan
uang, maka ia akan mengalami kesulitan untuk mencari ilmu pengetahuan terutama
pada jalur pendidikan formal. Demikian juga dengan tantangan yang lain.
Bagi
orang yang beriman, tantangan itu tidak perlu menjadi hambatan. Sebab selain
tantangan, ia juga memiliki motivasi yang sangat besar. Orang-orang yang
mencari ilmu dengan ikhlas akan dibantu oleh Allah dan akan dimudahkan baginya
jalan menuju sorga. Hal ini dapat dipahami dari hadis berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى
الْجَنَّةِ.[6]
رواه مسلم والترمذى وأحمد والبيهقى
Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang menempuh jalan
menuntut ilmu, akan dimudahkan Allah jalan untuknya ke sorga.
Menurut
Ibn Hajar, kata طَرِيْقًا diungkapkan dalam bentuk nakirah (indefinit), begitu
juga dengan kata ilmu yang berarti mencakup semua jalan atau cara untu
mendapatkan ilmu agama, baik sedikit maupun banyak. سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ
طَرِيقًا (Allah memudahkan
baginya jalan) Yaitu Allah memudahkan baginya jalan di akhirat kelak, atau
memudahkan baginya jalan di dunia dengan cara memberi hidayah kepadanya untuk
melakukan perbuatan yang baik yang dapat menghantarkannya menuju surga. Hal ini
mengandung berita gembira bagi orang yang menuntut ilmu, bahwa Allah memudahkan
mereka untuk mencari dan mendapatkannya, karena menuntut ilmu adalah salah satu
jalan menuju surga.[7]
Dalam hadis ini, Rasulullah saw.
menggunakan pendekatan fungsional. Beliau memberikan motivasi belajar kepada
para sahabat (umat)nya dengan mengemukakan manfaat, keuntungan dan kemudahan
yang akan diperoleh oleh setiap orang yang berusaha mengikuti proses belajar.
Kendatipun beliau tidak menggunakan kata perintah (fi'l al-amr), namun
ungkapan ini dapat dipahami sebagai perintah. Bahkan sering motivasi dengan
ungkapan seperti ini lebih efektif daripada perintah. Siapakah orang beriman
yang tidak ingin mendapatkan kemudahan untuk masuk sorga? Jawabannya dapat
ditebak, tidak ada. Artinya semua orang beriman itu akan ingin sekali
mendapatkan fasilitas ini. Nah, caranya tempuhlah jalan atau ikutilah proses
mencari ilmu dengan ikhlas karena Allah.
Anjuran
yang terdapat dalam hadis ini sejalan dengan pernyataan Allah dalam Alquran.
Firman Allah (QS Fathir/35: 28) yang terjemahannya: Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
perkasa lagi Maha Pengampun.
Al-Marâghi
menjelaskan bahwa sesungguhnya yang takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya
dan mematuhi hukuman-Nya hanyalah orang-orang yang mengetahui tentang kebesaran
dan kekuasaan Allah atas hal-hal apa saja yang Dia kehendaki, dan bahwa Dia
melakukan apa saja yang Dia kehendaki. Karena orang yang mengetahui hal itu,
dia yakin tentang hukuman Allah atas siapa pun yang bermaksiat kepada-Nya. Maka
dia merasa takut dan ngeri kepada Allah karena khawatir mendapat hukuman-Nya
tersebut.[8]
Sehubungan dengan ayat di
atas, Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ عَائِشَةُ قَالَتْ: صَنَعَ
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - شَيْئًا فَرَخَّصَ فِيهِ فَتَنَزَّهَ عَنْهُ
قَوْمٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَخَطَبَ فَحَمِدَ
اللَّهَ ثُمَّ قَالَ « مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَتَنَزَّهُونَ عَنِ الشَّىْءِ
أَصْنَعُهُ ، فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَعْلَمُهُمْ بِاللَّهِ وَأَشَدُّهُمْ لَهُ
خَشْيَةً.[9]
رواه البخارى
“Rasulullah saw. melakukan sesuatu lalu beliau memberi rukhsah
(keringanan) mengenai sesuatu itu. Namun ada suatu kaum yang menghindarinya.
Ketika hal itu didengar oleh Nabi saw. Lalu beliau pun berkhutbah. Beliau
memuji Allah lalu bersabda, ‘Kenapakah ada kaum yang menghindari sesuatu yang
aku perbuat. Demi Allah
sesungguhnya aku adalah yang paling tahu tentang Allah dan paling takut
kepada-Nya di antara mereka.” (H. R. Al-Bukhari dan Muslim).
Ada
asar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Hasan Al-Basri. Menurut Ibn Abbas,
“Orang yang berilmu tentang Allah Yang Maha Pencipta di antara hamba-hamba-Nya
ialah orang yang tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun, menghalalkan apa
yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, memelihara
wasiat-Nya dan yakin bahwa dia akan bertemu dengan-Nya dan memperhitungkan
amalnya.” Hasan Al-Basri berkata, “Orang
yang berilmu ialah orang yang takut kepada Allah Yang Maha Pengasih, sekalipun
dia tidak mengetahui-Nya, menyukai apa yang disukai oleh Allah dan menghindari
apa yang dimurkai Allah.’ Kemudian Al-Basri membaca QS Fathir/35: 28.[10]
Dari ayat, hadis dan atsar di atas dapat dipahami dengan jelas bahwa
ilmu pengetahuan itu memudahkan orang menuju sorga. Hal itu mudah dipahami karena dengan ilmu,
seseorang mengetahui akidah yang benar, cara-cara beribadah dengan benar, dan bentuk-bentuk
akhlak yang mulia. Selain itu, orang berilmu mengetahui pula hal-hal yang dapat
merusak akidah tauhid, perkara-perkara yang merusak pahala ibadah, dan memahami
pula sifat dan akhlak-akhlak jelek yang perlu dihindarinya. Semuanya itu akan membawanya ke sorga di akhirat, bahkan
kesejahteraan di dunia ini.
Selain
hadis di atas, terdapat pula hadis semakna yaitu:
عن أبى دردائ قال سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ
الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ
الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ
حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ
الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا
وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.[11]
رواه الترمذى وأحمد
والبيهقى وأبو داود والدارمى
Abu Dada’ berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Siapa
yang menempuh jalan mencari ilmu, akan
dimudahkan Allah jalan untuknya ke sorga. Seungguhnya Malaikat menghamparkan
sayapnya karena senang kepada pencari ilm. Sesungguhnya pencari ilmu dimintakan
ampun oleh orang yang ada di langit dan bumi, bahkan ikan yang ada dalam air. Keutamaan orang berilmu dari orang yang
beribadah adalah bagaikan kelebihan bulan malam purnama dari semua bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi. Nabi tidak mewariskan emas
dan perak, tetapi ilmu. Siapa yang mencari ilmu hendaklah ia cari sebanyak-banyaknya.
Dalam hadis di atas terdapat lima keutamaan orang menuntut ilmu, yaitu:
(1) mendapat kemudahan untuk menuju sorga, (2) disenangi oleh para malaikat,
(3) dimohonkan ampun oleh makhluk Allah yang lain, (4) lebih utama daripada
ahli ibadah, dan (5) menjadi pewaris Nabi. Menuntut ilmu yang dimaksud di sini,
menurut pengarang Tuhfat al-Ahwazi adalah mencari ilmu sedikit atau
banyak yang menempuh jalan dekat atau jauh.
Yang dimaksud
dengan dimudahkan Allah baginya jalan menuju sorga adalah imunya itu akan
memberikan kemudahan kepadanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
menyebabkannya masuk sorga. Karena ilmunya, seseorang itu
mengetahui kewajiban yang harus dikerjakannya dan larangan-larangan yang harus
dijauhinya. Ia memahami hal-hal yang dapat merusak akidah dan ibadahnya. Ilmu
yang dimilikinya membuat ia dapat membedakan yang halal dari yang haram. Dengan
demikian, orang yang memiliki ilmu
pengetahuan itu tidak merasa kesulitan untuk mengerjakan hal-hal yang dapat
membawanya ke dalam sorga.
Malaikat menghamparkan sayapnya karena senang kepada
orang yang mencari ilmu. Malaikat telah mengetahui bahwa Allah sangat
mengutamakan ilmu. Hal itu terbukti ketika mereka disuruh hormat kepada Adam
setelah Adam menunjukkan kelebihan ilmunya kepada malaikat. Oleh sebab
itu, para malaikat merasa senang kepada
orang-orang yang berilmu karena mereka dimuliakan oleh Allah.
Orang yang menuntut ilmu dimintakan ampun oleh
makhluk-makhluk Allah yang lain. Ini merupakan ungkapan yang menunjukkan
kesenangan Rasulullah SAW. kepada para pencari ilmu. Ilmu itu sangat bermanfaat
bagi alam semesta, baik manusia maupun bukan manusia. Dengan ilmu pengetahuan
yang disertai iman, alam ini akan selalu terjaga dengan indah. Penjagaan,
pengelolaan dan menjaga kelestarian alam ini dapat dilakukan dengan ilmu
pengetahuan. Jadi, orang yang memiliki ilmu dan menggunakannya untuk kebaikan
alam semesta merupakan orang mulia yang pantas didoakan oleh penghuni alam ini.
Orang berilmu pengetahuan lebih
utama daripada ahli ibadah. Keutamaannya diumpamakan oleh Rasulullah SAW.
bagaikan kelebihan bulan pada malam purnama dari bintang. Keutamaan bulan malam
purnama yang jelas dari bintang-bintang adalah dalam hal fungsi menerangi.
Bulan itu bercahaya yang membuat dirinya terang dan dapat pula menerangi yang
lain. Sedangkan bintang kurang cahayanya dan itu hanya untuk dirinya sendiri.
Sifat seperti itu terdapat pula pada orang yang berilmu pengetahuan dan ahli
ibadah. Orang yang berilmu pengetahuan dapat menerangi dirinya sendiri dengan
petunjuk dan dapat pula menerangi orang lain dengan pengajarannya. Dengan kata
lain, orang 'alim itu memberikan manfaat untuk dirinya dan dapat pula
bermanfaat bagi orang lain.
Orang yang berilmu dikatakan
sebagai pewaris Nabi. Ini merupakan penghormatan yang sangat tinggi. Warisan
Nabi itu bukan harta dan fasilitas duniawi, melainkan ilmu. Mencari ilmu
berarti berusaha untuk mendapatkan warisan beliau. Berbeda dari warisan harta,
untuk mendapatkan warisan Nabi tidak dibatasi pada orang-orang tertentu. Siapa
saja yang berminat dapat mewarisinya. Bahkan, Rasulullah SAW. menganjurkan agar
umatnya mewarisi ilmu itu sebanyak-banyaknya.
Dari hadis di atas terlihat bahwa Rasulullah SAW.
mendidik umatnya untuk menjadi 'alîm, (jamaknya 'ulamâ') dengan pendekatan fusngsional. Pendekatan ini merupakan upaya memberikan materi pembelajaran dengan
menekankan kepada segi kemanfaatan bagi peserta didik dalam kehidupan
sehari-hari. Pembelajaran dan bimbingan untuk mendapatkan ilmu diharapkan
berguna bagi kehidupan seseorang, baik dalam kehidupan individu maupun dalam
kehidupan sosial. Melalui pendekatan fungsional ini berarti peserta didik dapat
memanfaatkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
C. Keutamaan Mengajar
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الاِنْسَانُ
انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ
بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.[12]
رواه مسلم وأحمد النسائي والترمذى
والبيهقى
Abu Hurairah
meriwatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila manusia telah meninggal
dunia terputuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya.
Dalam hadis di atas terdapat
informasi bahwa ada tiga hal yang selalu diberi pahala oleh Allah pada
seseorang kendatipun ia sudah meninggal dunia. Yaitu; (1) sedekah jariyah
(wakaf yang lama kegunaannya), (2) ilmu yang bermanfaat, dan (3) doa yang
dimohonkan oleh anak yang saleh untuk orang tuanya. Sehubungan dengan
pembahasan ini adalah ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh
seseorang ('âlim) kepada orang lain dan tulisan (karangan) yang
dimaksudkan oleh penulis untuk dimanfaatkan orang lain.[13]
Dari ulasan di atas terlihat ada dua bentuk pemanfaatan
ilmu, yaitu dalam mengajar dan menulis. Mengajar adalah proses memberikan ilmu
pengetahuan kepada orang yang belum tahu. Hasilnya, orang yang belajar itu
memiliki ilmu pengetahuan dan dapat dimanfaatkannya dalam menjalani
kehidupannya, baik untuk urusan hidup duniawi maupun untuk urusan ukhrawi.
Demikian juga halnya dengan menulis. Orang yang berilmu pengetahuan dapat
menularkan ilmunya dengan menulis buku dan sebagainya. Orang yang membaca
karangan tersebut akan mendapatkan ilmunya kendatipun tidak pernah bertemu
langsung. Kedua pekerjaan ini hanya dapat dilakukan bila seseorang mempunyai
ilmu pengetahuan dan mau berbuat untuk mencerdaskan orang lain.
D. Urgensi Ilmu
Ilmu berfungsi sebagai cahaya
yang menerangi bagi setiap orang. Dengan ilmu, jalan hidup ini akan menjadi
terang. Sebaliknya tanpa ilmu, orang akan merasa hidup ini dalam keadaan gelap
gulita. Karenanya orang bisa saja tersesat bila tidak memiliki ilmu pengetahuan
yang memadai. Hal itu telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW. antara lain dalam
hadisnya:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ
انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ
الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا
جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا.[14]
رواه
البخاري ومسلم وأحمد والترمذى والنسائى والدارمى
والبيهقى والطبرانى
Abdullah bin
Amru bin al-Ash meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah
tidak akan mencabut ilmu secara langsung dari semua hamba. Ia mengambil ilmu dengan cara mewafatkan
para ulama, sehingga apabila ulama habis, manusia akan mengangkat orang bodoh
menjadi pemimpin. Mereka ditanya (oleh umat) lalu berfatwa tanpa ilmu.
Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan (umat).
Hadis di atas memberikan paling tidak empat Informasi:
(1) Allah akan mencabut ilmu dari hamba-Nya dengan cara mewafatkan ulama, (2)
Setelah ulama tidak ada lagi, orang akan mengangkat si bodoh menjadi pemimpin,
(3) Pemimpin yang bodoh akan berfatwa tanpa ilmu, dan (4) Fatwa pemimpin yang
bodoh akan membawa kepada kesesatan.
Ahmad dan Thabrani meriwayatkan dari Abu Umamah bahwa
saat haji Wada’ Nabi SAW bersabda, “Pelajarilah ilmu sebelum datang masa
punahnya ilmu tersebut.” Arabi berkata, “Bagaimanakah cara ilmu diangkat atau dipunahkan? Beliau
bersabda, “Punahnya ilmu itu dengan punahnya para ulama (orang yang menguasai
ilmu tersebut.”[15]
Menurut Ibnu Hajar, hadis ini berisi anjuran menjaga
ilmu, peringatan bagi pemimpin yang bodoh, peringatan bahwa yang berhak
mengeluarkan fatwa adalah pemimpin yang benar-benar mengetahui, dan larangan
bagi orang yang berani mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan.[16] Dengan demikian, ilmu pengetahuan merupakan syarat mutlak bagi
seorang pemimpin dan ulama. Tanpa ilmu pengetahuan, seseorang tidak berhak
menjadi pemimpin dan tidak boleh memberikan fatwa tentang apa pun. Bila hal itu
terjadi juga, maka pemimpin dan rakyat banyak akan mengalami kesesatan.
Dalam hadis di atas,
Rasulullah SAW. tidak menggunakan kata perintah untuk mencari ilmu tetapi
menjelaskan urgensi ilmu itu sendiri. Ungkapan ini berisi motivasi yang sangat
keras agar umatnya menuntut ilmu sebanyak-banyaknya. Memang kadang-kadang,
motivasi seperti itu lebih efektif dari penggunaan ata perintah. Dengan
demikian, Rasulullah SAW. menggunakan
motivasi untuk menimbulkan semangat para sahabat dalam belajar.
Sehubungan dengan urgensi ilmu
dalam kehidupan manusia, Al-Gazali mengemukakan ucapan Umar ibn Khattab
"Wafatnya 1000 abid yang beribadat malam dan berpuasa siang, lebih enteng
dari meningalnya seorang berilmu yang tahu halal haram".[17]
Tahu halal haram yang dimaksudkan di sini bukanlah sekedar tahu tanpa amal,
melainkan mengamalkannya, dengan cara mencari yang halal dan menjauhi yang
haram. Sebab pada hakikatnya, orang yang tahu itu adalah orang yang mengamalkan
ilmunya.
Al-Ghazali menulis bahwa
menurut Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Sulaiman bin Nabi Daud as. Telah
disuruh memilih antara ilmu, harta dan kerajaan. Ia memilih ilmu. Lalu, ia
dianugerahi harta dan kerajaan bersama dengan ilmu.[18]
Dengan ilmu, seseorang dapat memiliki harta yang banyak dan dapat pula
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sehingga mendapat kepercayaan untuk
menjadi pemimpin. Jadi, ilmulah sebenarnya yang paling penting.
Sehubungan dengan perbandingan ilmu dengan harta,
Ali bin Abi Thalib berkata:
Ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu dapat
menjagamu, sedangkan harta, engkaulah yang menjaganya. Ilmu berkuasa sedangkan
harta dikuasai. Harta itu berkurang bila dibelanjakan, sedangkan ilmu itu
bertambah bila disiarkan. Orang berilmu lebih utama dari orang yang hanya
berpuasa, bersembahyang dan berjihad. Bila seorang berilmu meninggal,
terdapatlah suatu lowongan dalam Islam yang hanya dapat diisi oleh
penggantinya.[19]
Ungkapan Ali di
atas menunjukkan ketinggian dan urgensi ilmu dalam kehidupan manusia.
[1]Al-Imam Abi Muhammad Abdullah ibn Bahram ad-Darimi, Sunan
ad-Darimi, jilid 1, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.th.), h. 252. Hadis dengan maksud yang sama juga
diriwayatkan Ad-Daruqutni dari Abi
Sa’id. Lihat, Ali ibn Umar Abu al-Hasan ad-Daruquthni al-Baghdadi, Sunan
ad-Daruquthni, (selanjutnya disebut
ad-Daruqutni) juz 9, (Beirut: Dar al-Makrifah, 1386 = 1966), h. 421 dan Baihaqi
dari Abdullah. Lihat, Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Bayhaqi, (slanjutnya
disebut al-Bayhaqi) Sya’b al-Iman, Juz
2, (Beirut: Dar
–Kutub al-‘Ilmiyah, 1410) cet. ke-1 h. 253
[2]Lihat, Al-Mala ‘ala al-Qari’, Mirqat
al-Mafatih Syarh misykat al-Mashabih, juz 2, h. 199, dalam al-Maktabah
al-Syamilah bagian kitab-kitab syarah.
[3] Lihat, al-Bayhaqi, op. cit. juz 2,
h. 23
[4] Menurut Ibnu
Katsir, Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama beresensi
sifat, dan perbuatannya. Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, him. 72-75.
[5]Al-Marâghi, Juz 11, h. 86-87
[6]At-Tirmizi, op.cit., juz 10 h. 147
[7]Lihat Ibn Hjar Al-Asqalâniy, Juz 1, h. 302 (bab 10 mengetahui
sebelum berkata dan berbuat)
[8]Lihat, Al-Marâghiy, Juz 22, h. 219
[9]Al-Bukhariy, Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahīh al-Bukhāriy, I, (Indonesia:
Dahlan, t.th.), h. 2917
[10]Al-Marâghiy, Op.cit., h. 220
[11] Sulaiman bin al-Asy’as bin Syaddad bin
Amru al-Azadi Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz 11, h. 34
[12] Abu al-Husayn Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyayriy an-Nisaburiy,
Shahih Muslim, Juz 5, (Beirut:
Dar al-Jayl/Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th.), h. 73
[13]Abdurrahmân Ibn Abî Bakr Abû al-Fadhl
al-Suyûthiy, Syarah al-Suyûthiy 'alâ
Muslim, Juz 4, h. 228 dalam al-Maktabah al-Syâmilah.
[14]Al-Bukhari, Op.cit., juz 6, h. 2665
[15]Lihat, Ibn Hajar al-Asqalâniy, Op.cit., Juz 1, h. 375
[16]Lihat, Ibid.
[17]Imam Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazaly, Ihya'
'Ulumiddin, Jilid 1, Terjemahan Maisir Thaib, dkk., (Bukittinggi: Syamza
Offset, 1980), cet. ke-3, h. 33
[18]Ibid., h. 27
[19]Ibid., h. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar