Saya itu ...

Foto saya
Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia

Senin, 10 Oktober 2016

Evaluasi Pendidikan Islam



EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM


Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya berpendapat bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (= daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: (1) Ranah proses berpikir (cognitive domain), Ranah nilai atau sikap (affective domain), dan (3) Ranah keterampilan (psychomotor domain). Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga domain atau ranah itulah yang harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar, yaitu: (1) Apakah peserta didik sudah dapat memahami semua bahan atau materi pelajaran yang telah diberikan kepada mereka? (2) Apakah peserta didik sudah dapat menghayatinya? (3) Apakah materi pelajaran yang telah diberikan itu sudah dapat diamalkan secara kongkret dalam praktek atau dalam kehidupannya sehari-hari?[1]
A.          Ranah Kognitif (al-Nahiyah al-Fikriyyah)
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang dimaksud adalah: (1) Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), (2) Pemahaman (comprehension), (3) Penerapan (application), (4) Analisis (analysis), (5) Sintesis (synthesis) dan (6) Penilaian (evaluation).
Sehubungan dengan evaluasi ranah kognitif ini ditemukan hadis riwayat Abu Daud dll dari Mu'az ibn Jabal:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ « كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ  [2].رواه أبو داود والترمذى وأحمد والدارمى
Mu’az (bin Jabal )meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. ketika akan mengutus Mu’az ke Yaman, beliau bertanya (kepada Mu’az), Bagaimana Engkau mengadili perkara, jika dihadapkan kepadamu suatu perkara pengadilan? Mu’az menjawab: 'Saya mengadili (perkara itu) dengan Kitab Allah (A1-Qur'an).(Rasulullah bertanya lagi, “Maka bagaimana jika kamu tidak menjumpai (petunjuk) dalam Kitab Allah (A1-Qur'an?  Mu’az menjawab, ‘Maka (saya mengadili) dengan sunnah Rasulullah saw.” Rasulullah  bertanya lagi, (bagaimnaa bila) kamu tidak menjumpai (petunjuk dalam sunnah Rasulullah S.a.w. dan (tidak menjumpainya) dalam Kitab Allah (Al-Qur'an?” (Mu’az) menjawab), ‘Saya berijtihad sekuat akal pikiran saya. Maka Rasulullah SAW. menepuk dadaku sambil bersabda:  Segala puji milik Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasalullah terhadap apa yang Rasulullah berkenan terhadapnya.
Di antara informasi yang terkandung dalam hadis di atas adalah: (1). Rasulullah SAW. bermaksud akan mengutus Mu'az ke Yaman (untuk memimpin umat), (2). Rasulullah SAW. bertanya kepada Mu'az tentang dasar yang digunakan dalam memutuskan perkara peradilan, (3). Mu'az menjawab dengan urutan: pertama dengan Kitab Allah, Kedua dengan  Sunnah Rasulullah, ketiga dengan ijitihad, (4). Setelah selesai jawaban Mu'az, Rasulullah SAW. menepuk dada Mu'az karena senang, dan memuji Allah.
Dalam hadis di atas terlihat bahwa Rasulullah SAW. menguji kemampuan dan pengetahuan seorang sahabat sebelum memberikan tugas kepadanya. Setelah sahabat berhasil menjawab secara benar sesuai dengan keininginan Rasulullah SAW. , beliau memperlihatkan rasa senangnya dengan memberikan ganjaran yang menyenangkan sahabat dan belaiu memuji Allah. Pujian kepada Allah di sini dapat diartikan sebagai rasa syukur atas keberhasilan Rasulullah SAW. mendidik sahabatnya.
Ujian yang diberikan oleh Rasulullah SAW. dalam hadis di atas berkaitan dengan tugas yang akan diemban oleh Mu'az. Rasulullah SAW. baru akan menyerahkan suatu tugas kepada sahabat bila sahabat tersebut menguasai (memiliki ilmu) tentang persoalan tugas yang akan diembannya.

B. Ranah Afektif (al-Nahiyah al-Mauqifiyyah)
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku; seperti: perhatiannya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinarinya dalam mengikuti pelajaran agama di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan Agama Islam, dan sebagainya.
Sehubungan dengan ranah ini ditemukan hadis yang diriwayatkan oleh  Thabrani dari Jabir:
عن جبير قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْتَلِي عَبْدَهُ بِالسَّقَمِ حَتَّى يُكَفِّرَ عَنْهُ كُلَّ ذَنْبِهِ. [3] رواه الطبرانى
Sesungguhnya Allah 'AW menguji seorang hamba-Nya dengan suatu penyakit sehingga Ia mengampuni semua dosanya.
أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ، إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ.[4] رواه البخارى
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, setiap musibah yang menimpa seorang muslim yang berupa penyakit, penyakit kronis, kegalauan pikiran, kegelisahan hati, sampai kena duri, akan dihapus Allah kesalahannya.
Semua materi ujian dalam hadis ini berada di wilayah domain afektif, yaitu kesabaran. Bila seorang muslim mampu menerima ujian tersebut dengan penuh kesabaran, maka Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Ini merupakan hadia dari Allah untuk hamba-Nya yang lulus.
Dalam hadis ini disebutkan bahwa manusia akan diuji oleh Allah dengan penyakit. Sasarannya adalah  kesabaran yang termasuk wilayah domain afektif. Selain itu, dalam hadis ini disebut ganjaran yang akan diberikan oleh Allah kepada manusia yang lulus dalam ujian kesabaran menghadapi penyakit yang dideritanya.

c. Ranah Psikomotor (Nahiyah al-Harakah)
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dan hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan untuk berperiilaku). Hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya. Jika hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif dengan materi tentang kedisiplinan menurut ajaran Islam sebagaimana telah dikemukakan pada pembicaraan terdahulu, maka wujud nyata dan hasil belajar psikomotor.[5]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلاَثًا فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَللاَتِكَ كُلِّهَا[6]. رواه البخارى
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. pernah masuk Masjid, lalu ada seorang laki-laki masuk pula dan salat. Kemudian, ia datang kepada Nabi lalu mengucapkan salam. Kemudian Nabi berkata: “Ulangi salatmu lagi karena sesungguhnya kamu belum salat”. Laki-laki itu mengulangi salatnya seperti salatnya tadi. Kemudian, ia datang dan mengucapkan salam kepada Nabi. Nabi berkata lagi: "Ulangi salatmu karena kamu belum salat". Maka laki-laki itu kembali salat seperti salatnya tadi. Setelah itu, ia kembali dan mengucapkan salam kepada Nabi. Kemudian, Nabi berkata lagi: “Ulangi salatmu karena sesungguhnya kamu belum salat”. Begitulah sampai tiga kali, lalu laki-laki tersebut berkata: Demi Zat yang telah mengutusmu dengan benar, sungguh aku tidak dapat berbuat yang lebih baik lagi daripada itu. Oleh karena itu, ajarilah aku! Maka Nabi bersabda: “Apabila kamu berdiri untuk salat, maka takbirlah, lalu bacalah ayat yang mudah bagimu, kemudian ruku’lah sehingga tumu’ninah, kemudian bangkitlah sehingga i’tidal dalam keadaan berdiri, kemudian sujudlah sehingga tumu’ninah dalam keadaan sujud, kemudian bangkitlah sehingga tumu’ninah dalam keadaan duduk, kemudian sujudlah sehingga tumu’ninah dalam keadaan sujud, kemudian berbuatlah yang demikian itu dalam semua salatmu”. (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad, tetapi dalam Muslim tidak terdapat sebutan sujud kedua).
Dalam hadis ini, Rasulullah saw. menguji sahabat dalam mendirikan salat. Ini berada di wilayah psikomotor. Teknik yang digunakan observasi (nontes). Rasulullah SAW. mengamati pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh sahabat dalam salatnya. Setelah melihat kekeliruan sahabat, beliau langsung menyuruhnya untuk mengulangi lagi. Jadi, ada perbaikan segera setelah terjadinya kesalahan.
Dari hadis di atas juga dapat diambil pelajaran bahwa Rasulullah SAW. dalam bentuk yang sederhana telah menggunakan observasi sebagai teknik tes kemampuan ranah psikomotor, kendatipun belum menggunakan perencanaan tertulis dan pencatatan lapangan. Pada zaman modern ini, observasi digunakan sebagai instrumen pengukuran kemampuan kerja seseorang dan dilengkapi dengan catatan-catatan yang diperlukan.
Menurut Anas Sudijono, secara umum, pengertian observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan (= data) yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan. Observasi sebagai alat evaluasi banyak digunakan untuk menilai tingkah laku individu atau proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan.[7] Observasi dapat mengukur atau menilai hasil dan proses belajar; misalnya tingkah laku peserta didik pada waktu guru pendidikan agama menyampaikan pelajaran di kelas, tingkah laku peserta didik pada jam-jam istirahat atau pada saat terjadinya kekosongan pelajaran, perilaku peserta didik pada saat shalat jama’ah di musholla sekolah, ceramah-ceramah keagamaan, upacara bendera, ibadah shalat tarawih dan sebagainya.
D. Kualitas Ujian sesuai dengan Tingkat Keberagamaan
سَعْدٍ عَنْ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ « الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ. رواه الترمذى
Sa'ad meriwayatkan, 'Saya bertanya kepada Rasulullah, Siapa manusia yang mendapat ujian yang paling kuat? Rasulullah saw. menjawab: 'Nabi-nabi kemudian yang pali utama dan seterusnya. Seseorang diuji sesuai dengan tingkat agamanya. Jika agamanya kuat, maka ujian untuknya kuat pula. Sebaliknya bila agamanya lemah, maka ujiannya akan lemah pula. Ujian itu seantiasa diberikan kepada manusia sampai ia tidak berbuat kesalahan lagi.

Dalam Tuhfat al-Ahwazi[8] dijelaskan Manusia yang paling banyak dan sulit ujian dan cobaannya adalah  para Nabi. Mereka banyak diuji karena mereka senang dengan ujian itu sebagaimana orang lain senang dengan nikmat. Bila tidak diuji, mereka meragukan kecintaan Tuhan dan kesabarannya lemah dalam menghadapi umat. Semakin kuat ujiannya semakin tawaduk dan berharap ia kepada Allah.
Al-Amstal adalah  orang paling utama, paling tinggi kedudukan dan posisinya. Yaitu orang yang paling dekat kepada Allah. Mereka diberi ujian yang berat supaya pahalanya banyak.
Seseorang diuji sesuai dengan tingkat (ukuran) agamanya. Artinya sesuai dengan kelemahan, kekuatan, kekurangan dan kesempurnaan agamanya. Jika ia kuat dalam beragama, maka ujiannya kuat pula. Sebaliknya bila agamanya lemah, maka ujiannya akan lemah pula. Ujian itu seantiasa diberikan kepada manusia sampai ia tidak berbuat kesalahan lagi.


Menurut M. Arifin, dalam sunnah Nabi Saw. sistem evaluasi yang bersifat makro adalah untuk mengetahul kemajuan belajar manusia termasuk Nabi Saw. sendiri, sebagaimana kisah kedatangan malaikat Jibril menguji Nabi Saw. dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut pengetahuan beliau tentang rukun Islam, dan setiap jawaban Nabi Saw. selalu dibenarkan oleh Jibril. Peristiwa lainnya adalah sering kali Jibril datang kepada Nabi Saw. untuk menguji sejauh mana hafalan Nabi Saw. terhadap ayat-ayat Alquran tetap konsisten dan valid dalam ingatan beliau.
Nabi Saw. sendiri dalam melaksanakan kegiatan dakwah dan pengajaran juga sering sekali mengadakan evaluasi terhadap hasil belajar para sahabatnya dengan sistem pertanyaan atau tanya jawab serta musyawarah. Tujuan dan pengevaluasian ini adalah untuk mengetahui mana di antara para sahabat beliau yang cerdas, yang patuh, dan yang saleh atau mana yang kreatif dan aktif-responsif kepada pemecahan problem- problem yang dihadapi bersama Nabi Saw. pada suatu keadaan mendesak.[9]







[1]Sudijono,Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 49

[2]Abu Daud., Op.cit., Juz 3, h. 303
[3]Al-Thabrâniy, Al-Mu'jam al-Kabîr li al_Thabrâniy, Juz 2, h. 169 dalam Al-Maktabah al-Syâmilah
[4]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 4, h. 2316
[5] Ibid., h. 57
[6] Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 1, h. 297
[7]Anas Sudijono, Op.cit., h. 76
[8]Tuhfat al-Ahwaz, Juz 6, h. 188 dalam Al-Maktabat al-Syâmilah
[9]M.Arifin, Op.cit., h. 243

Tidak ada komentar:

Posting Komentar