EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Benjamin
S. Bloom dan kawan-kawannya berpendapat bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan
pendidikan harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (= daerah
binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: (1) Ranah
proses berpikir (cognitive domain), Ranah nilai atau sikap (affective
domain), dan (3) Ranah keterampilan (psychomotor domain). Dalam
konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga domain atau ranah itulah yang harus
dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar, yaitu: (1)
Apakah peserta didik sudah dapat memahami semua bahan atau materi pelajaran
yang telah diberikan kepada mereka? (2) Apakah peserta didik sudah dapat
menghayatinya? (3) Apakah materi pelajaran yang telah diberikan itu sudah dapat
diamalkan secara kongkret dalam praktek atau dalam kehidupannya sehari-hari?[1]
A.
Ranah Kognitif (al-Nahiyah
al-Fikriyyah)
Ranah
kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom,
segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam
ranah kognitif itu terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang
terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang dimaksud adalah: (1)
Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), (2) Pemahaman (comprehension), (3) Penerapan (application), (4) Analisis (analysis), (5) Sintesis (synthesis) dan (6) Penilaian (evaluation).
Sehubungan
dengan evaluasi ranah kognitif ini ditemukan hadis riwayat Abu Daud dll dari
Mu'az ibn Jabal:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى
الْيَمَنِ قَالَ « كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى
بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ
فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ
فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى كِتَابِ اللَّهِ ».
قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ
اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ [2].رواه
أبو داود والترمذى وأحمد والدارمى
Mu’az (bin Jabal )meriwayatkan bahwa
Rasulullah s.a.w. ketika akan mengutus Mu’az ke Yaman, beliau bertanya (kepada
Mu’az), Bagaimana Engkau mengadili perkara, jika
dihadapkan kepadamu suatu perkara pengadilan? Mu’az menjawab: 'Saya mengadili
(perkara itu) dengan Kitab Allah (A1-Qur'an).(Rasulullah bertanya lagi, “Maka
bagaimana jika kamu tidak menjumpai (petunjuk) dalam Kitab Allah
(A1-Qur'an? Mu’az menjawab, ‘Maka (saya
mengadili) dengan sunnah Rasulullah saw.” Rasulullah bertanya lagi, (bagaimnaa bila) kamu tidak
menjumpai (petunjuk dalam sunnah Rasulullah S.a.w. dan (tidak menjumpainya)
dalam Kitab Allah (Al-Qur'an?” (Mu’az) menjawab), ‘Saya berijtihad sekuat akal
pikiran saya. Maka Rasulullah SAW. menepuk dadaku sambil bersabda: Segala puji milik Allah yang telah memberi
petunjuk kepada utusan Rasalullah terhadap apa yang Rasulullah berkenan
terhadapnya.
Di antara informasi yang terkandung dalam hadis di atas
adalah: (1). Rasulullah SAW. bermaksud akan mengutus Mu'az ke Yaman (untuk
memimpin umat), (2). Rasulullah SAW. bertanya kepada Mu'az tentang dasar yang
digunakan dalam memutuskan perkara peradilan, (3). Mu'az menjawab dengan
urutan: pertama dengan Kitab Allah, Kedua dengan Sunnah Rasulullah, ketiga dengan
ijitihad, (4). Setelah selesai jawaban Mu'az, Rasulullah SAW. menepuk dada
Mu'az karena senang, dan memuji Allah.
Dalam hadis di atas terlihat bahwa Rasulullah SAW.
menguji kemampuan dan pengetahuan seorang sahabat sebelum memberikan tugas
kepadanya. Setelah sahabat berhasil menjawab secara benar sesuai dengan
keininginan Rasulullah SAW. , beliau memperlihatkan rasa senangnya dengan
memberikan ganjaran yang menyenangkan sahabat dan belaiu memuji Allah. Pujian
kepada Allah di sini dapat diartikan sebagai rasa syukur atas keberhasilan
Rasulullah SAW. mendidik sahabatnya.
Ujian yang diberikan oleh Rasulullah SAW. dalam hadis di
atas berkaitan dengan tugas yang akan diemban oleh Mu'az. Rasulullah SAW. baru
akan menyerahkan suatu tugas kepada sahabat bila sahabat tersebut menguasai
(memiliki ilmu) tentang persoalan tugas yang akan diembannya.
B. Ranah Afektif (al-Nahiyah
al-Mauqifiyyah)
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan
sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat
diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif
tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik
dalam berbagai tingkah laku; seperti: perhatiannya terhadap mata pelajaran
pendidikan agama Islam, kedisiplinarinya dalam mengikuti pelajaran agama di
sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran
agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru
pendidikan Agama Islam, dan sebagainya.
Sehubungan dengan ranah ini ditemukan hadis yang
diriwayatkan oleh Thabrani dari
Jabir:
عن جبير قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
يَبْتَلِي عَبْدَهُ بِالسَّقَمِ حَتَّى يُكَفِّرَ عَنْهُ كُلَّ ذَنْبِهِ. [3]
رواه الطبرانى
Sesungguhnya Allah 'AW menguji seorang
hamba-Nya dengan suatu penyakit sehingga Ia mengampuni semua dosanya.
أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى
الله عليه وسلم - قَالَ « مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ
هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا ،
إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ.[4]
رواه البخارى
Dari Abu
Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, setiap musibah yang menimpa seorang
muslim yang berupa penyakit, penyakit kronis, kegalauan pikiran, kegelisahan
hati, sampai kena duri, akan dihapus Allah kesalahannya.
Semua
materi ujian dalam hadis ini berada di wilayah domain afektif, yaitu kesabaran.
Bila seorang muslim mampu menerima ujian tersebut dengan penuh kesabaran, maka
Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Ini merupakan hadia
dari Allah untuk hamba-Nya yang lulus.
Dalam hadis ini disebutkan bahwa manusia akan diuji oleh
Allah dengan penyakit. Sasarannya adalah
kesabaran yang termasuk wilayah domain afektif. Selain itu, dalam hadis
ini disebut ganjaran yang akan diberikan oleh Allah kepada manusia yang lulus
dalam ujian kesabaran menghadapi penyakit yang dideritanya.
c.
Ranah Psikomotor (Nahiyah al-Harakah)
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan
dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang
menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ranah psikomotor
dikemukakan oleh Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor
ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill)
dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya
merupakan kelanjutan dan hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil
belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan
untuk berperiilaku). Hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan
menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan
perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam
ranah kognitif dan ranah afektifnya. Jika hasil belajar kognitif dan hasil
belajar afektif dengan materi tentang kedisiplinan menurut ajaran Islam
sebagaimana telah dikemukakan pada pembicaraan terdahulu, maka wujud nyata dan
hasil belajar psikomotor.[5]
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ
الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلاَثًا
فَقَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِي
فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ
مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ
حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ
ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَللاَتِكَ كُلِّهَا[6].
رواه البخارى
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw.
pernah masuk Masjid, lalu ada seorang laki-laki masuk pula dan salat. Kemudian, ia datang kepada Nabi lalu
mengucapkan salam. Kemudian Nabi berkata: “Ulangi salatmu lagi karena
sesungguhnya kamu belum salat”. Laki-laki itu mengulangi salatnya seperti
salatnya tadi. Kemudian, ia datang dan mengucapkan salam kepada Nabi. Nabi berkata lagi:
"Ulangi salatmu karena kamu belum salat". Maka laki-laki itu kembali
salat seperti salatnya tadi. Setelah itu, ia kembali dan mengucapkan salam
kepada Nabi. Kemudian, Nabi berkata lagi: “Ulangi salatmu karena sesungguhnya
kamu belum salat”. Begitulah sampai tiga kali, lalu laki-laki tersebut berkata:
Demi Zat yang telah mengutusmu dengan benar, sungguh aku tidak dapat berbuat
yang lebih baik lagi daripada itu. Oleh karena itu, ajarilah aku! Maka Nabi
bersabda: “Apabila kamu berdiri untuk salat, maka takbirlah, lalu bacalah ayat
yang mudah bagimu, kemudian ruku’lah sehingga tumu’ninah, kemudian bangkitlah
sehingga i’tidal dalam keadaan berdiri, kemudian sujudlah sehingga tumu’ninah
dalam keadaan sujud, kemudian bangkitlah sehingga tumu’ninah dalam keadaan
duduk, kemudian sujudlah sehingga tumu’ninah dalam keadaan sujud, kemudian
berbuatlah yang demikian itu dalam semua salatmu”. (HR Bukhari, Muslim dan
Ahmad, tetapi dalam Muslim tidak terdapat sebutan sujud kedua).
Dalam hadis ini, Rasulullah saw. menguji sahabat
dalam mendirikan salat. Ini berada di wilayah psikomotor. Teknik yang digunakan
observasi (nontes). Rasulullah SAW. mengamati pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan oleh sahabat dalam salatnya. Setelah melihat kekeliruan sahabat,
beliau langsung menyuruhnya untuk mengulangi lagi. Jadi, ada perbaikan segera
setelah terjadinya kesalahan.
Dari hadis di atas juga dapat diambil pelajaran
bahwa Rasulullah SAW. dalam bentuk yang sederhana telah menggunakan observasi
sebagai teknik tes kemampuan ranah psikomotor, kendatipun belum menggunakan
perencanaan tertulis dan pencatatan lapangan. Pada zaman modern ini, observasi digunakan
sebagai instrumen pengukuran kemampuan kerja seseorang dan dilengkapi dengan
catatan-catatan yang diperlukan.
Menurut
Anas Sudijono, secara
umum, pengertian observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan (= data) yang dilakukan dengan mengadakan
pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang
sedang dijadikan sasaran pengamatan. Observasi sebagai alat evaluasi banyak
digunakan untuk menilai tingkah laku individu atau proses terjadinya suatu
kegiatan yang dapat diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam
situasi buatan.[7]
Observasi dapat mengukur atau menilai hasil dan proses belajar; misalnya
tingkah laku peserta didik pada waktu guru pendidikan agama menyampaikan
pelajaran di kelas, tingkah laku peserta didik pada jam-jam istirahat atau pada
saat terjadinya kekosongan pelajaran, perilaku peserta didik pada saat shalat
jama’ah di musholla sekolah, ceramah-ceramah keagamaan, upacara bendera, ibadah
shalat tarawih dan sebagainya.
D. Kualitas
Ujian sesuai dengan Tingkat Keberagamaan
سَعْدٍ عَنْ قَالَ: قُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ « الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ
الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ
دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ
عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ
يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ. رواه الترمذى
Sa'ad
meriwayatkan, 'Saya bertanya kepada Rasulullah, Siapa manusia yang mendapat
ujian yang paling kuat? Rasulullah saw. menjawab: 'Nabi-nabi kemudian yang pali
utama dan seterusnya. Seseorang diuji sesuai dengan tingkat agamanya. Jika
agamanya kuat, maka ujian untuknya kuat pula. Sebaliknya bila agamanya lemah,
maka ujiannya akan lemah pula. Ujian itu seantiasa diberikan kepada manusia
sampai ia tidak berbuat kesalahan lagi.
Dalam Tuhfat al-Ahwazi[8] dijelaskan Manusia yang paling banyak dan
sulit ujian dan cobaannya adalah para
Nabi. Mereka banyak diuji karena mereka senang dengan ujian itu sebagaimana
orang lain senang dengan nikmat. Bila tidak diuji, mereka meragukan kecintaan Tuhan
dan kesabarannya lemah dalam menghadapi umat. Semakin kuat ujiannya semakin
tawaduk dan berharap ia kepada Allah.
Al-Amstal adalah orang paling utama, paling tinggi kedudukan
dan posisinya. Yaitu orang yang paling dekat kepada Allah. Mereka diberi ujian yang berat
supaya pahalanya banyak.
Seseorang
diuji sesuai dengan tingkat (ukuran) agamanya. Artinya sesuai dengan kelemahan,
kekuatan, kekurangan dan kesempurnaan agamanya. Jika ia kuat dalam beragama,
maka ujiannya kuat pula. Sebaliknya bila agamanya lemah, maka ujiannya akan
lemah pula. Ujian itu seantiasa diberikan kepada manusia sampai ia tidak
berbuat kesalahan lagi.
Menurut
M. Arifin, dalam sunnah Nabi Saw. sistem evaluasi yang bersifat makro adalah
untuk mengetahul kemajuan belajar manusia termasuk Nabi Saw. sendiri,
sebagaimana kisah kedatangan malaikat Jibril menguji Nabi Saw. dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut pengetahuan beliau tentang rukun Islam,
dan setiap jawaban Nabi Saw. selalu dibenarkan oleh Jibril. Peristiwa lainnya
adalah sering kali Jibril datang kepada Nabi Saw. untuk menguji sejauh mana
hafalan Nabi Saw. terhadap ayat-ayat Alquran tetap konsisten dan valid dalam
ingatan beliau.
Nabi
Saw. sendiri dalam melaksanakan kegiatan dakwah dan pengajaran juga sering
sekali mengadakan evaluasi terhadap hasil belajar para sahabatnya dengan sistem
pertanyaan atau tanya jawab serta musyawarah. Tujuan dan pengevaluasian ini
adalah untuk mengetahui mana di antara para sahabat beliau yang cerdas, yang
patuh, dan yang saleh atau mana yang kreatif dan aktif-responsif kepada
pemecahan problem- problem yang dihadapi bersama Nabi Saw. pada suatu keadaan
mendesak.[9]
[1]Sudijono,Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007), h. 49
[2]Abu Daud., Op.cit., Juz 3, h. 303
[3]Al-Thabrâniy, Al-Mu'jam al-Kabîr li al_Thabrâniy, Juz 2, h.
169 dalam Al-Maktabah al-Syâmilah
[4]Al-Bukhariy, Op.cit., Juz 4, h. 2316
[5] Ibid., h. 57
[7]Anas Sudijono, Op.cit., h. 76
[9]M.Arifin, Op.cit., h. 243
Tidak ada komentar:
Posting Komentar